Senin, 18 Desember 2017
On 22.35 by Nur Rakhmat in Artikel Populer No comments
Alhamdulillah dimuat di Harian Tribun Jateng, 19/12/2017 ...
Semoga bisa memotivasi diri dan pembaca untuk selalu istiqomah dalam kebaikan mendidik siswa. Amin y rabbal alamin ..
Sukses Selalu ...
Semoga bisa memotivasi diri dan pembaca untuk selalu istiqomah dalam kebaikan mendidik siswa. Amin y rabbal alamin ..
Sukses Selalu ...
Guru
dan Keteladanan Nabi Muhammad SAW
Oleh
: Nur Rakhmat
Presiden
Joko Widodo berharap peringatan Hari Guru nasional dan HUT Ke-72 PGRI menjadi
momentum berbenah untuk menyiapkan generasi yang tangguh. Namun, untuk membentuk
generasi tangguh diperlukan juga guru yang berjiwa tangguh. Artinya guru yang
mau menempa diri, mau meningkatkan kompetensi diri, dan mau belajar untuk
kemudian mau menularkan dan membaktikan dirinya untuk kepentingan perserta
didik khususunya dan pendidikan pada umumnya.
Selain
itu, dibutuhkan pula guru tangguh yang mempunyai jiwa keteladanan pada diri
guru tersebut. Lalu, jiwa keteladanan bagaimana yang dibutuhkan guru agar bisa
membentuk generasi tangguh di masa mendatang?
Keteladanan Nabi Muhammad SAW
Nabi
Muhammad SAW, sebagai nabi dan rosul yang diutus oleh Allah SWT di jazirah
arab, tentu sudah dibekali dengan ilmu dan pengetahuan akan kondisi masyarakat
arab dan sebagainya yang manfaatnya untuk memudahkan Nabi Muhammad SAW dalam
mendidik kaumnya dari zaman jahiliah atau zaman kebodohan ke zaman yang lebih
beradab.
Sebagaimana
kita ketahui bersama, Nabi Muhammad SAW memiliki empat sifat utama, di mana
sifat tersebut sudah terbukti kebenarannya membentuk generasi tangguh yang
mampu menjadi penerus Nabi Muhammad SAW dalam mendidik kaum arab jahiliah
setelah beliau wafat.
Adanya
generasi khulafaur rasyidin, dengan sahabat Abu Bakar Ash shidiq, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib sebagai penerus nabi, adalah salah
satu bukti generasi tangguh hasil didikan Nabi Muhammad SAW yang mampu menjadi
penerus nabi dalam dakwah memerangi segala bentuk kejahiliyahan atau kebodohan masyarakat arab waktu tersebut.
Guru,
sebagai pendidik yang berperan penting dalam membangun jiwa generasi penerus
bangsa hendaknya juga bisa meneladani nilai-nilai positif sifat keteladanan
Nabi Muhammad SAW tersebut.
Apalagi
dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dikatakan, bahwa
guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.
Oleh
karena itu, sudah menjadi ketentuan wajib bagi guru untuk menjadi guru
profesional yang kompeten dan tangguh serta memiliki jiwa keteladanan sifat-sifat
utama nabi Muhammad SAW, yang meliputi sifat shidiq, amanah, tabligh, dan
fatonah.
Sifat
yang pertama adalah Shidiq atau benar. Seorang guru, jika menginginkan peserta
didiknya menjadi generasi yang tangguh dan tahan banting terhadap segala bentuk
paparan karakter negatif, guru hendaknya juga memiliki sifat dan karakter
shidiq di dalamnya.
Artinya,
apa yang diajarkan oleh guru hendaknya hal yang sifatnya benar atau bukan salah
atau bahkan hoaks di dalamnya. Sehingga dengan guru memiliki sifat Shidiq
secara langsung maupun tidak langsung, guru juga berkarakter benar dan jujur,
yang oleh Mahatma Gandhi dikatakan bahwa inti dari moralitas adalah kejujuran.
Sifat
keteladanan Nabi Muhammad SAW selanjutnya yang patut diteladani guru adalah
sifat amanah atau sifat dapat dipercaya. Mengapa sifat amanah sangat penting
bagi guru? Sesuai dengan tupoksi guru dalam undang-undang, yaitu mendidik dan mengajar
siswa, tidak mungkin seorang guru dalam mendidik siswanya asal didik, atau
melakukan malpraktik dalam pendidikan. Tidak mungkin pula, seorang guru dalam
mendidik siswanya hanya asal masuk (asma) ataupun bentuk kelalaian lainnya.
Oleh
sebab itu, sikap amanah penting bagi guru. Karena dengan guru memiliki amanah
yang baik, guru dalam mendidik siswa pasti akan mengeluarkan kemampuan
terbaiknya, guru juga akan memberikan pelayanan prima kepada siswa. Selain itu,
guru juga sadar bahwa siswa adalah mendidik siswa adalah salah satu jalan untuk
menggapai ridho Allah SWT sebagai bentuk menjalankan amanah dari orang tua
untuk mendidik siswa menjadi generasi yang unggul dan bermoral.
Sifat
selanjutnya adalah tabligh atau menyampaikan. Sebagaimana Nabi Muhammad dalam
mendidik kaumnya menjadi generasi bermoral, guru hendaknya juga menyampaikan
atau mendidik kebaikan terhadap anak didiknya. Guru hendaknya juga menjadi
teladan bagi siswanya.
Apalagi
tidak semua siswa mempunyai latar belakang sama antara satu dengan yang
lainnya. Sehingga sudah menjadi kewajiban bagi guru untuk menjadi teladan
keberagaman siswa. mulai dari kecerdasan yang beragam, sampai latar belakang
keluarga yang beragam pula. Di sinilah peran guru dalam membentuk jiwa tangguh
siswa dengan cara menyampaikan kebenaran dan menunjukkan keteladanan kepada
siswa. Dengan harapan, di masa mendatang siswa bisa lebih percaya diri dan
yakin akan manfaatnya terhadap sesama.
Sifat
keteladanan Nabi Muhammad SAW selanjutnya yang wajib diteladani guru adalah
fatonah atau cerdas. Ya, guru harus cerdas! Artinya seorang guru harus cerdas
dalam mengenali karakter siswa. Dengan sikap cerdas, guru juga akan lebih bijak,
dan hati-hati dalam mendidik siswanya. Dengan cerdas pula, guru juga akan mampu
meningkatkan kompetensi yang dimilikinya untuk kemudian disampaikan kepada
siswanya.
Selain
itu, dengan sikap cerdas, guru juga bisa menjadi penyelam yang baik bagi siswa.
Guru juga sadar, bahwa kecerdasan siswa juga beragam atau siswa tidak hanya
cerdas intelektual saja. Tetapi guru sadar bahwa siswa juga memiliki kecerdasan
majemuk, mulai dari kecerdasan matematic logic, linguistik, spacial,
intrapersonal, interpersonal sampai kecerdasan naturalis.
Banyak
manfaat positif yang diperoleh guru jika guru bisa meneladani sifat wajib Nabi
Muhammad SAW tersebut. Diantaranya adalah guru lebih mudah dalam membentuk
siswa menjadi generasi tangguh karena guru sudah memiliki model yang tepat
dalam mendidik siswa.
Manfaat
kedua, guru mampu menginspirasi siswa untuk selalu menjadi teladan bagi diri,
keluarga dan temannya lingkungannya. Sehingga, dengan adanya dampak saling
teladan berketaladanan ini harapannya karakter tangguh siswa terbentuk dan siswa mampu menjadi inspirasi
bagi siswa lainnya.
Manfaat
yang ketiga adalah tujuan nasional bangsa Indonesia akan tercapai. Mengapa
demikian? Ini dikarenakan dengan adanya dampak langsung yang ditimbulkan dari
sikap keteladanan guru dan siswa, budaya positif bangsa terbentuk. Sehingga suasana
kondusif dalam bernegara dan bermasyarakat juga tercapai.
Dibutuhkan
keseriusan dan komitmen dari guru dan stake holder terkait agar keteladanan
positif tersebut agar bisa menjadi budaya luhur tiap elemen masyarakat. Dan sesuai
dengan tema HGN “Membangun Pendidikan Karakter Melalui Keteladanan Guru” tahun ini, guru benar-benar bisa menjadi
teladan bagi sesama dengan pemodelan dan praktik yang baik dalam kesehariannya.
Dan
dengan momentum Maulid Nabi Muhammad SAW dan Hari Guru Nasional yang hampir
bersamaan. Mari kita tingkatkan karakter saling memberi ketedalanan dalam
bersikap, bertutur kata dan berperilaku, sehingga antara satu komponen dengan
komponen lain saling menguatkan dan saling menginspirasi untuk menjadi generasi
tangguh dan bermoral. Tentu demi Indonesia yang semakin beradab.
Nur
Rakhmat, S.Pd.
Guru
SDN Kalibanteng Kidul 01 Kota Semarang. HP.
081542557038
Alamat
: Jalan Candi Intan V/1129 Rt.7/9 Kelurahan Kalipancur Kecamatan Ngaliyan Kota
Semarang
Senin, 13 November 2017
On 17.56 by Nur Rakhmat in Artikel Populer 2 comments
Alhamdulillah ...
Setelah kurang lebih tiga minggu kirim dan belum dimuat, alhamdulillah, Jawa Pos Radar Semarang, 12/11/17...
Semoga berkenan ...
http://radarsemarang.com/2017/11/12/mendidik-siswa-zaman-now/
Setelah kurang lebih tiga minggu kirim dan belum dimuat, alhamdulillah, Jawa Pos Radar Semarang, 12/11/17...
Semoga berkenan ...
http://radarsemarang.com/2017/11/12/mendidik-siswa-zaman-now/
Mendidik Siswa Zaman Now
Oleh : Nur Rakhmat
“Murid sekarang berbeda
dengan waktu sekolah saya dulu ya pak”, itulah kalimat yang diucapkan salah
seorang Staf Kementerian Keuangan yang melaksanakan Gerakan Kemenkeu mengajar di
Sekolah kami, SDN Kalibanteng Kidul 01 Kota Semarang minggu lalu. Lebih lanjut
staf tersebut mengatakan, kalau siswa SD pada zamannya anaknya manut-manut dan
cenderung lebih pendiam. Berbeda dengan yang apa yang ditemukannya saat
mengajar siswa SD saat ini, mereka siswa SD saat ini cenderung aktif dan
atraktif.
Sebagai guru, kami kemudian memberikan
gambaran dan penjelasan mengapa siswa zaman dulu berbeda dengan zaman sekarang.
diantaranya adalah bahwa, siswa zaman sekarang lahir dan tumbuh di era digital,
era yang serba cepat, serba instan dan lain sebagainya. Sedangkan siswa zaman
dahulu, mereka cenderung tumbuh dalam lingkungan yang menerima kondisi dengan
apa adanya dan selalu bekerja keras untuk mendapat sesuatu.
Maka dari itu, dengan
lingkungan yang berbeda tersebut, pasti karakter dan sikap yang tumbuh dan
berkembang pada diri siswa juga berbeda pula. Sehingga cara mengekspresikan
diri, dan mengaktualisasikan diri siswa dahulu dengan siswa sekarangpun juga
berbeda pula.
Fenomena
Kids Zaman Now
Para
pakar bersepakat, bahwa adanya perubahan sikap dan karakter antara siswa zaman
dahulu dengan siswa zaman sekarang salah satu penyebab utamanya adalah adanya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju pesat. Oleh karena
itu, adanya keakraban interaksi antara siswa dengan piranti teknologi yang ada
saat ini, kita semua tidak bisa memungkiri bahwa siswa saat ini adalah termasuk
golongan kids zaman now.
Ya, kids zaman now! Istilah itu
akhir-akhir ini menjadi viral di dunia kekinian. Istilah unik yang memadukan
dua bahasa menjadi satu istilah ini seolah menggambarkan bahwa kondisi siswa saat
ini merupakan salah satu contoh sikap dan perilaku kids zaman now juga.
Adanya
perilaku yang tidak wajar dilakukan siswa, atau perilaku yang seharusnya tidak
dilakukan siswa, adalah contoh perilaku kids zaman now yang semakin jauh dari
nilai – nilai kesopanan, dan nilai luhur budaya bangsa. Selain itu, siswa yang
berani dengan orang tua dan guru, dan suka melakukan hal iseng yang mereka
sendiri tidak tahu untuk apa dan apa akibatnya juga adalah beberapa contoh
perilaku negative anak zaman now yang dilakukan siswa di sekolah.
Yang
menjadi pertanyaan, mengapa siswa sampai ikut fenomena kids zaman now yang negative
tersebut? Sigmun Freud mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat yang
namanya “insting kematian” atau kecenderungan-kecenderungan yang bersifat
destruktif atau merusak, baik ditujukan bagi orang lain ataupun bagi diri
sendiri.(Sugiyarto, 2010: 47)
Oleh karena itu, guru
sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap perkembangan siswa di sekolah
hendaknya juga bisa lebih menginstrospeksi diri ke arah lebih baik dan menjadi
penyelam yang baik bagi siswa. Agar apa? Tentu agar segala polutan atau ancaman
degradasi moral yang semakin besar
menyerang siswa tersebut bisa teratasi dengan baik dan benar.
Selain itu, orang tua juga
diharapkan bisa menginstrospeksi diri untuk semakin menjadi lebih baik, bisa mendidik
anaknya dengan baik, serta menjalin komunikasi yang baik dengan anaknya di
rumah. Salah satunya dengan cara mengefektifkan quality time antara anak dengan
keluarga di rumah anak merasa lebih diperhatikan dan lebih bisa merasakan kenyamanan
bersama dengan keluarga.
Lalu bagaimana langkah
efektif mendidik siswa zaman now yang serba kekinian tersebut?
Menjadi
Guru Zaman Now
Untuk mendidik siswa zaman
now, guru juga hendaknya menjadi guru zaman now. Namun, jangan salah, guru
zaman now di sini bukanlah guru yang sukanya berdandan-dandan saja, mengikuti
trend mode, ataupun guru yang hanya asal masuk kelas saja dan lain sebagainya.
Namun, guru zaman now di
sini adalah guru yang mampu menginspirasi siswanya, guru yang mengenali
siswanya tidak hanya nama, namun tahu karakter siswanya masing-masing, dan guru
yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang bisa diajarkan ke siswa dan bisa
digunakan di masyarakat, dan banyak contoh positif lainnya.
Lalu bagaiman menjadi guru
zaman now yang baik? Pertama kenali potensi siswa. Hal ini sangatlah penting,
karena dengan guru mengenali potensi siswa kesenjangan antara guru dengan siswa
bisa diminimalisir. Sehingga, guru dalam mendidik siswa zaman now bisa lebih
efektif dan lancar.
Kedua, guru harus selalu
mengupdate ilmu pengetahuan. Artinya, guru harus selalu belajar untuk lebih
baik lagi, guru harus belajar ilmu pengetahuan baru. Selain memberi teladan
siswa untuk selalu belajar, guru yang mau belajar mengupdate ilmu pengetahuan,
pasti bisa menginspirasi guru lainnya untuk menjad lebih baik.
Yang ketiga, guru hendaknya
memahami bahwa kecerdasan siswa tidaklah sama. Ada yang cerdas matematis,
linguistic, logika, intrapersonal, naturalis dan lain sebagainya. Seperti yang
disampaikan DR. Howard Gardner, tokoh Multiple Intellegience, bahwa kecerdasan manusia itu adalah lingusitik, mathematic
logic, visual spasial, musical, kinestetis, intrapersonal, interpersonal, dan
naturalis. (Munif Chatib, 2013:56).
Sehingga dengan guru
mengetahui beragamnya kecerdasan siswa, guru tentu bisa lebih efektif dalam
mendidik siswa zaman now, tidak ada lagi berat sebelah dalam pembelajaran, siswa
merasa terpenuhi kebutuhan akan kasihsayang seorang guru karena guru tahu apa
yang siswa mau.
Keempat adalah bisa
berkomunikasi dengan siswa. Artinya, guru bisa berkomunikasi tidak hanya dengan
komunikasi verbal saja, tetapi bisa dengan hati, isyarat, dll. Sehingga dengan
demikian, jika komunikasi tersebut lancar, siswa pasti bisa menangkap makna
atau intisari atau rangkuman diinginkan gurunya.
Yang terakhir untuk menjadi
guru zaman now adalah mendidik siswa dengan hati nurani. Artinya, guru haruslah
menjadi guru kalbu, guru yang berkarakter dan guru yang mau mendampingi
anak-anak menjadi lebih baik lagi.
Akhirnya, perlu keteladanan
dan contoh yang baik dari guru, masyarakat dan stake holder lainnya untuk
membentuk siswa zaman now menjadi siswa yang positif, berpikiran maju dan
kreatif dan mampu diberi tanggungjawab untuk bisa berperan dalam pembangunan
nasional.
Tidak hanya itu, dengan praktik yang baik
tersebut, harapannya karakter kids zaman now bisa selalu mengarah ke hal
positif dan bisa membudayakan progam penguatan pendidikan karakter di sekolah
masing-masing. Tentu demi Indonesia yang lebih hebat dan lebih berkarakter.
Nama : Nur Rakhmat,S.Pd.
Guru SDN
Kalibanteng Kidul 01. UPTD Pendidikan Kecamatan Semarang Barat. Kota Semarang.
Hp. 081542557038.
Email : nurrakhmatcahayakasihsayang@yahoo.com
Alamat: Jln. Candi Intan V No.1129 Rt.07 Rw.09
Pasadena Kelurahan Kalipancur Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang
Jumat, 10 November 2017
On 08.39 by Nur Rakhmat in Artikel Populer No comments
“TEBAR
PESONA”, Langkah Cerdas Tumpas Hoaks
Oleh
: Nur Rakhmat
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi saat ini semakin maju pesat, termasuk teknologi informasi di
dalamnya. Tidak adanya sekat jarak ruang dan waktu serta Informasi yang semakin
mudah didapat adalah beberapa contoh semakin majunya teknologi informasi dan
komunikasi di era modern ini.
Namun
sangat disayangkan, ada oknum yang tidak bertanggungjawab menyalahgunakan
dampak positif globalisasi tersebut, tepatnya menyalahgunakan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi dengan menyebarkan informasi palsu yang
tidak sesuai dengan aslinya, atau disebut juga hoaks.
Hoaks
sebagaimana dikutip dari kbbi.kemdikbud.go.id dalam versi daring adalah berita
bohong. ( https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Hoaks,
diakses 09 November 2017, pukul 04.30 WIB ). Oleh karena itu, berdasarkan makna
tersebut, sudah seharusnya kita tidak termakan berita hoaks apalagi menyebarkan
hoaks dengan tujuan menyesatkan informasi yang sudah ada.
Namun
kenyataan saat ini, informasi yang benar dan informasi yang sifatnya hoaks, sangatlah
sulit untuk kita bedakan. Sehingga, banyak dari kita yang termakan berita hoaks
tersebut, dan ikut membagikan informasi tersebut melalui media sosial yang kita
miliki.
Diantara
contoh berita hoaks yang beberapa waktu lalu menjadi viral diantaranya adalah
adanya kandungan berbahaya dalam minuman serbuk yang bisa menyebabkan batuk dan
pengerasan otak, kandungan berbahaya pada nasi yang berubah warna menjadi biru
setelah ditetesi obat antiseptik tertentu adalah contoh berita hoaks yang sangat
meresahkan dan menyesatkan kita semua.
Dan
jika tidak segera diantisipasi dengan melakukan kajian mendalam, dan pelurusan
informasi, bukan tidak mungkin hoaks tersebut menjadi benar dan tidak menjadi
berita hoaks. Selain itu, jika hoaks dibiarkan merajalela, bukan tidak mungkin
kerusakan moral akibat malinformasi dan
perpecahan bangsa atau disintegrasi bangsa terjadi, mengingat peredaran berita
hoaks sangat masif dan masuk ke semua lini kehidupan masyarakat.
Pendidikan
sebagai pilar utama mencerdaskan kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat berperan penting dalam mencegah beredarnya berita hoaks. Terlebih
dikatakan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke empat bahwa salah satu tujuan
nasional Bangsa Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Oleh
karena itu, agar masyarakat bisa mencapai titik puncak kecerdasan dan bangsa
ini bisa dikatakan cerdas, pendidikan haruslah bisa menjadi protektor atau
pelindung masyarakat dan generasi bangsa ini dari seluruh ancaman yang
mengancam eksistensi dan kredibilitas bangsa, termasuk mencegah tersebarnya
hoaks di seluruh elemen masyarakat.
Mengapa
pendidikan penting menjadi protektor? Hal ini dikarenakan pendidikan bersifat
terus menerus, pendidikan juga bersifat membentuk daya nalar dan pendidikan
juga menjadi modal utama dalam pembentukan karakter masyarakat utamanya
generasi mudanya.
Bahkan
dalam Bab II pasal 3 Undang Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang sistem
pendidikan nasional, dikatakan, bahwa tujuan nasional pendidikan adalah
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengenmbangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
Selain
itu, dalam pendapat lain dikatakan, bahwa adulthood
( kedewasaan ) adalah tujuan umum pendidikan, tujuan esensial dari pendidikan, tujuan
lengkap, dan tujuan akhir pendidikan. ( Waini R, 2104 : 99 ).
Oleh
karena itu, guna menangkal berita hoaks, pendidikan dengan kecerdasan yang ada
di dalamnya menjadi syarat utama dalam memberantas hoaks sampai ke
akar-akarnya. Sehingga, mutlak bagi seluruh elemen masyarakat bersikap dewasa
dan cerdas dalam berkomunikasi, cerdas dalam bersosialisasi, dan cerdas dalam
memberantas hoaks di dalamnya.
Lalu
langkah cerdas apa yang bisa dilakukan generasi yang hidup di era modern ini
dan generasi zaman now dalam memberantas hoaks? “TEBAR PESONA”. Ya, “TEBAR
PESONA” hemat kami adalah langkah cerdas guna menangkal maraknya berita hoaks
yang ada di masyarakat.
Kemudian,
apa yang dimaksud “TEBAR PESONA” tersebut? “TEBAR PESONA” merupakan sebuah
akronim dari kata terima, baca, resapi, pelajari, sosialisasikan dan nyatakan. Artinya,
jika ada berita hoaks langkah langkah yang hendaknya kita ambil sebagai bentuk
identifikasi dan antisipasi adalah dengan sikap “TEBAR PESONA”.
Dan
langkah “TEBAR PESONA” yang pertama adalah terima. Artinya jika ada informasi
atau berita, baik itu berita hoaks atau bukan, langkah kita pertama kali adalah
menerima berita tersebut dengan baik. Dengan tujuan, setelah kita menerima kita
bisa menelaah dan menindaklanjuti, kemudian mengambil langkah apa yang
seharusnya dilakukan.
Yang
kedua adalah baca. Setelah kita menerima, otomatis kita juga membaca berita
tersebut. Bentuk membaca berita atau informasi tersebut bukan hanya membaca
dalam arti harfiah saja. Tetapi baca di sini mempunyai arti kedewasaan diri
dalam menyikapi informasi yang kita terima. Dengan harapan, bilamana informasi
tersebut benar, bisa dimanfaatkan dan bilamana informasi tersebut salah atau kurang
tepat bisa diluruskan dengan mengkaji dan menggali informasi tersebut lebih
jauh.
Kemudian
yang ketiga adalah resapi. Setelah kita menerima informasi, kemudian membaca,
langkah selanjutnya adalah meresapi. Artinya, setelah kita membaca dengan
seksama diikuti dengan pertimbangan yang matang, hendaknya kita juga meresapi
dan menghayati apakah informasi tersebut baik atau tidak? Apakah informasi
tersebut benar atau tidak?
Lalu
jika informasi sudah benar, informasi tersebut mau diapakan? Dan jikalau informasi
tersebut juga belum benar mau diapakan? Apakah diabaikan? Atau ditelaah lebih
lanjut? Nah, di sinilah peran penting penghayatan sebagai bagian kepribadian
tiap individu dalam menerima setiap informasi yang diterima oleh masing-masing
individu tersebut.
Langkah
cerdas berikutnya adalah pelajari. Langkah ini merupakan langkah nyata dalam
menerima setiap informasi yang diterima. Baik itu hoaks ataupun info yang
benar. namun, dalam kaitannya dengan hoaks, langkah pelajari ini merupakan
langkah utama dalam menerima informasi.
Mengapa
demikian? Dengan mempelajari berita yang ada, secara tidak langsung kita juga
belajar memecahkan masalah berbasis CTL (Contextual Teaching and Learning).
Atau belajar dengan sistem yang menyeluruh dan terjalin jaringan antara bagian
satu dengan bagian yang lain. Bahkan Elaine B Johnson, PH.D. dalam bukunya
Contextual Teaching & Learning, menyatakan bahwa dengan CTL pendidikan akan
lebih bermakna dan mampu memberikan pengalaman baru yang meransang otak
menemukan makna baru dalam pembelajaran.(Elaine B. Johnson, 2006: 65).
Langkah
cerdas selanjutnya setelah kita pelajari adalah sosialisasikan. Artinya,
setelah semua fase sudah dilalui, sosialisasi atau penyampaian informasi hasil
mempelajari informasi benar tidaknya informasi sangatlah ditunggu oleh semua
elemen masyarakat. Agar apa? tentu agar masyarakat mengetahui benar tidaknya
informasi yang mereka dapatkan.
Dan
setelah masyarakat tahu benar tidaknya informasi yang diterima, langkah cerdas
yang pamungkas atau terakhir adalah NyAtakan. Ya, menyatakan berita tersebut
benar atau tidak. Fase manyatakan kebenaran informasi ini sangatlah penting,
agar apa? Tentu agar semua elemen masyarakat sadar dan tahu akan benar tidaknya
informasi yang mereka terima.
Sehingga,
dengan semua elemen masyarakat sadar dan tahu benar tidaknya informasi yang
diterima. Masyarakat akan lebih cerdas dan lebih tajam sikap kritis dan kreatifitasnya,
utamanya dalam menangkal informasi yang sifatnya hoaks.
Selain
itu, langkah “TEBAR PESONA” dalam menangkal hoaks tersebut tidak hanya semata-mata
menangkal hoaks saja. Tetapi sekaligus sebagai respon bahwa tidak selamanya
berita hoaks mengakibatkan dampak negatif bagi yang menerimanya. Artinya, dalam
berita hoaks, kalau kita mau menelaah lebih dalam, ada nilai karakter di
dalamnya. Seperti, karakter pembelajar dalam wujud mencari kebenaran informasi
dan karakter nasionalis dalam usaha mencegah perpecahan bangsa yang diakibatkan
oleh hoaks.
Bahkan
karakter positif sebagai wujud pendidikan karakter dalam menerima informasi
hoaks seperti sikap pantang menyerah, religius, sabar, cermat, nasionalisme, menyikapi
hoaks dengan bijak, dewasa, bersikap kreatif dan karakter positif lainnya juga
ada dalam usaha kita mencari kebenaran informasi apakah hoaks atau bukan hoaks.(
Nur Rakhmat. Jawa Pos Radar Semarang.
Hoax dan Pendidikan Karakter Bangsa, 16/04/17)
Kemudian,
untuk menindaklanjuti adanya nilai karakter dalam berita atau informasi hoaks itu
benar adanya adalah kami buktikan dengan melakukan percobaan bersama siswa saat
pembelajaran. Saat itu, kami sedang mempelajari materi pengayaan pelajaran IPA tentang
kandungan vitamin dan zat berguna dalam makanan. Materi tersebut kami sampaikan
saat pembahasan kisi-kisi Ujian Sekolah.
Saat
mempelajari materi tersebut, di media sosial marak berita ibu ibu khawatir
dengan kandungan bahan kimia berbahaya dalam beras. Jika nasi berwarna biru
apabila ditetesi cairan antiseptik itu berarti mengandung pengawet, jika
berubah warna menjadi hitam, maka nasi tersebut mengandung pemutih. Dan anak-anak
banyak juga yang terpengaruh dengan berita tersebut. Sehingga membuat kami
merasa terpanggil mengajak anak-anak untuk bersama-sama mencari benar tidaknya
informasi tersebut.
Yang
pertama kami lakukan adalah, mengelompokkan anak menjadi beberapa kelompok, kemudian
setelah itu anak-anak kami beri nasi putih dan satu buah larutan antiseptik.
Banyak anak yang bertanya, untuk apa nasinya dan untuk apa obat antiseptiknya.
Setelah
kami jelaskan, anak-anak kemudian paham, bahwa nasi dan cairan antiseptik yang dibawa
tersebut digunakan untuk percobaan mengetes kebenaran informasi tentang nasi
yang berwarna biru mengandung pengawet tersebut benar apa tidak.
Satu
persatu anak-anak mencoba dan meneteskan cairan antiseptik ke nasi lalu
mengamati perubahan yang terjadi. Di sini, anak bertanya lagi, “pak nasinya kok
berubah warna menjadi ungu? Apakah ini mengandung pengawet pak?”
Setelah
dirasa cukup melakukan percobaan, kami kemudian mengajak anak-anak menyimpulkan
bersama hasil percobaannya, ada anak yang menjawab tidak berbahaya jika nasi
berubah warna dan ada anak yang menjawab berbahaya jika nasi berubah warna. Dan
agar anak tahu kebenarannya, kemudian kami menjelaskan ke anak, bahwa nasi yang
berwarna biru setelah ditetesi obat anti septik tersebut tidaklah berbahaya.
Dan
warna biru yang ditimbulkannya adalah sebagai bentuk akibat dari zat amilum
yang terkandung dalam nasi sebagai salah satu sumber karbohidrat manusia. Dan
jika antara amilum dan zat yang terkandung dalam obat antiseptik yaitu iodin
bertemu, maka terjadilah perubahan warna, dan itu tidak berbahaya. Setelah
mendengar penjelasan guru dan melakukan percobaan sendiri, anak-anak akhirnya
tahu dan paham bahwa warna biru pada beras atau nasi jika ditetesi obat anti
septik tidaklah berbahaya. Dan bisa ditebak, berarti informasi yang diterima
sebelumnya adalah berita hoaks.
Dari
kejadian tersebut kami melihat, ternyata anak-anak sangat tertarik jika
mempelajari sesuatu yang baru, apalagi belajarnya menggunakan media dan
langsung kontekstual sesuai dengan kondisi nyata yang ada. Sehingga kami
menyimpulkan, dalam berita hoaks, jika kita mau berusaha untuk menemukan
kebenarannya, banyak nilai karakter yang terkandung sebagai bentuk pendidikan
karakter terhadap anak-anak dan kita semua.
Selain
itu, dengan anak-anak mempelajari berita apakah hoaks atau bukan, kami berharap
mereka bisa menjadi agen perubahan, menjadi agen cerdas anti hoaks yang selalu
belajar, selalu pantang menyerah melawan hoaks dan menumpas hoaks dengan penuh
kesadaran dan keikhlasan, demi Indonesia bebas hoaks di masa mendatang.
Maka
dari itu, mari kita tumpas hoaks saat ini juga, tentu dengan penuh “TEBAR
PESONA” sebagai bentuk sikap kedewasaan kita terhadap maraknya informasi hoaks
yang ada di masyarakat. Dengan penuh kesadaran, dengan penuh kesabaran dan
penuh keikhlasan pada diri kita.
Selain
itu, marilah kita bentengi diri kita, keluarga kita, dan saudara-saudara kita
dengan kecerdasan yang kita miliki agar tidak terjebak informasi hoaks. Tidak
hanya kecerdasan intelektual yang kita gunakan, tetapi kecerdasan spiritual
sebagai mahluk Tuhan adalah pondasi utama dalam menangkal berita hoaks. Dengan
harapan, tercapainya Indonesia cerdas dan bebas hoaks. Amin ...
Tumpas
hoaks dengan “TEBAR PESONA” ? Mengapa tidak?
Daftar Pusataka
B. Johnson, Elaini. 2006. Contextual Teaching & Learning :
Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung :
Mizan Media Utama.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Hoaks,
diakses 09 November 2017, pukul 04.30 WIB.
Rakhmat,
Nur. Jawa Pos Radar Semarang. Hoax dan
Pendidikan Karakter Bangsa, 16 April 2017.
Rasyidin,
Waini. 2014. Pedagogik Teoritis dan
Praktis. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Tim
Redaksi Nuansa Aullia.2006. Himpunan
Perundang-Undangan RI. Bandung : CV. Nuansa Aullia
Biodata Penulis
Nama
: Nur Rakhmat
Nama
Sekolah : SDN Kalibanteng
Kidul 01 Kota Semarang
Alamat
Sekolah : Jln. WR Supratman
22-23 Kota Semarang
Link URL posting : https://www.facebook.com/nur.rakhmat.167/posts/741142252750383
Senin, 06 November 2017
On 20.26 by Nur Rakhmat in Artikel Populer No comments
Sebuah renungan saat ini ...
Alhamdulillah sudah terbit di Harian Jawa Pos Radar Semarang pada Minggu, 16 April 2017
Alhamdulillah sudah terbit di Harian Jawa Pos Radar Semarang pada Minggu, 16 April 2017
Hoax
dan Pendidikan Karakter Bangsa
(Sebuah
Refleksi)
Saat
bangsa ini sedang belajar berdemokrasi yang benar, ada saja oknum yang tidak
bertanggung jawab mengacaukan tatanan ideal bangsa ini dengan menyebar hoax
sebagai wahana untuk memperkeruh suasana dan membenturkan berbagai opini agar
kondisi yang sebelumnya kondusif menjadi keruh dengan munculnya rasa ketidakpercayaan
terhadap satu sama lain dalam berbagai bidang kehidupan.
Kejadian
tersebut jika dibiarkan terus menerus tentu bisa menjadi semakin besar, tidak
terkontrol dan tidak terarah serta tidak menutup kemungkinan bisa menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap bangsa yang bisa menimbulkan konflik
horizontal dengan puncak akibat terjadinya disintegrasi bangsa di negara
tercinta Indonesia ini.
Ketidakpercayaan
publik, benturan horizontal dengan mengangkat isu sara dan disintegrasi bangsa
itulah yang diinginkan oknum penyebar berita hoax di bumi pertiwi punuh damai
ini. Lebih parah lagi, adanya hoax, berita palsu tersebu apabila sudah
menjangkiti dan tumbuh berkembang di masyarakat bisa mengakibatkan munculnya
budaya baru yang sifatnya penuh kemunafikan dan kepalsuan.
Namun,
hemat penulis jika kita sadar dan mau berpikir lebih jauh, adanya berita hoax
dengan segala ancamannya tersebut bisa menjadi salah satu bentuk pelajaran,
bentuk pendidikan bagi kita sebagai bagian dari Bangsa Indonesia yang majemuk
ini.
Wujud Pendidikan Karakter
Hoax
sebagai salah satu wujud pendidikan karakter? Mengapa tidak. Tentu kita sering
mendengar pepatah “Pengalaman adalah guru yang terbaik”. Seperti itulah yang
tengah terjadi di negara tercinta ini. Berbagai pengalaman yang terjadi
akhir-akhir ini bisa kita jadikan sebagai pendidikan bagi kita semua.
Berbagai
pengalaman yang menimpa bangsa ini bisa kita jadikan sebagai sarana belajar
bagi kita semua, mulai dari elemen siswa sampai masyarakat. Tentu proses
belajar tersebut sesuai dengan tingkat usia mereka. Proses belajar tersebut
juga sesuai dengan tingkat kedewasaan mereka. Tidak mungkin seorang siswa sekolah
dasar menanggapi hoax akan sama dengan siswa sekolah menengah, tidak mungkin
pula siswa sekolah menengah menanggapinya sama dengan mahasiswa, begitu juga
mahasiswa tidak mungkin sama dengan cara menanggapi yang dilakukan oleh masyarakat.
Oleh
karena itu, walaupun masing-masing tingkatan usia berbeda cara menanggapi dan
berbeda pula proses pendidikan yang dialaminya, namun kedewasaan berpikir tetap
menjadi ukuran utama dalam keberhasilan proses pendidikan yang melibatkan
pemecahan masalah terkait hoax ini.
Selain
itu kemampuan sosial atau kemampuan individu untuk berinteraksi terhadap
lingkungan juga sangat diperlukan dalam proses belajar menanggapi dan
menyelesaikan masalah yang terkait dengan hoax tersebut. Selain agar tidak
terjadi malpraktik dalam pergaulan sosial, sesungguhnya segala perilaku yang
dilakukan antara tingkat usia yang satu dengan yang lain dan antar tingkat
lingkungan sosial saling mempengaruhi satu sama lain.
Seperti
yang disampaikan Wirosardjono bahwa bentuk-bentuk perilaku sosial itu merupakan
hasil tiruan dan bentuk adaptasi dari pengaruh kenyataan sosial yang ada.(Mohammad
Asrori,2009:117). Sehingga dari pendapat tersebut, bisa kita ambil kesimpulan
bahwa bentuk tanggapan yang dilakukan oleh lingkungan masyarakat bisa mempengaruhi
bentuk tanggapan yang dilakukan oleh lingkungan masyarakat di pendidikan
menengah, begitu pula tindakan yang dilakukan masyarakat di lingkungan
pendidikan menengah juga akan mempengaruhi tindakan yang diambil masyarakat
pendidikan dasar.
Sehingga
jika kita tidak sadar dan mengabaikan cara positif dalam menyikapi hoax, bukan
tidak mungkin sikap tersebut bisa menimbulkan budaya baru yang di dalamnya
nihil kedewasaan pikir dan sikap serta mengabaikan unsur kepribadian dan
keluhuran dalam hidup berbangsa dan bernegara. Dan akibatnya pasti banyak
generasi penerus bangsa yang gagap dan timpang serta minim pengalaman dalam
berinteraksi dan melewat proses pendidikan pemecahan masalah di semua lini
kehidupan dalam bermasyarakat.
Maka
dari itu, keteladanan masyarakat dalam menyikapi hoax sangat diperlukan oleh
kita semua, selain sebagai salah satu bentuk proses pendidikan, keteladanan
yang positif juga merupakan bentuk interaksi positif yang bisa membentuk budaya
positif bangsa guna menangkal hoax di segala lini kehidupan.
Kita
semua sudah tahu, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan kaya akan
nilai-nilai budaya dan karakter positif bangsa. Oleh karena itu, sudah menjadi
kewajiban bagi kita semua untuk menjaga
nilai-nilai budaya tersebut. Jangan sampai budaya positif yang sudah membudaya
tersebut hancur gara-gara hoax. Dan jangan sampai pula persatuan dan kesatuan
bangsa ini mudah dipecah dibelah dengan berita hoax yang dilakukan oleh oknum
yang tidak bertanggungjawab tersebut.
Sehingga
sudah menjadi kewajiban kita semua untuk belajar dan meningkatkan kepekaan kita
terhadap fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar kita, agar kita mampu
bersikap selektif dalam memperoleh berita serta agar kita juga mampu bersikap
dewasa dalam menanggapi dan menyikapi
adanya hoax yang ada di sekeliling kita.
Kemudian, sebagai lingkungan
masyarakat pembelajar yang berkarakter positif, marilah kita selalu belajar
agar mampu menangkal berita hoax dan mampu menyikapi dengan bijak segala berita
yang berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan agar kita mampu
menginspirasi generasi penerus bangsa menjadi generasi yang cerdas, bermoral
serta unggul dalam karya yang peka terhadap majemuknya bangsa ini.
Oleh karena itu, berdasar uraian di
atas, sudah sangat jelas jika kita mampu menyikapi hoax dengan baik. Hoax yang
sedang menjadi “tokoh utama” berbagai bidang di tanah air bisa dijadikan
sebagai sumber belajar. Bisa kita jadikan sarana pembelajaran untuk semakin
dewasa, untuk semakin memperbanyak dan meningkatkan karakter positif kita.
Karakter positif seperti sabar, cermat,
menghargai orang lain, kemudian nasionalime, pantang menyerah, religius dan
karakter positif lainnya jelas sekali muncul saat kita mampu menyikapi berita
hoax dengan bijak dan dewasa.
Sehingga Indonesia yang beradab dan
bermoral dengan segala kemajemukanya tetap terjaga serta kebhinekaan yang ada
di negara kita mampu menjadi potensi bangsa yang menguntungkan dan mampu
menjadi aset bangsa dalam menangkal disintegrasi bangsa untuk lebih membentuk
bangsa ini menjadi bangsa yang lebih bersatu dan lebih baik. Amin... semoga.
Nur
Rakhmat, S.Pd.
Guru
SDN Kalibanteng Kidul 01 UPTD Pendidikan Kecamatan Semarang Barat Kota
Semarang.
Jumat, 03 November 2017
On 10.10 by Nur Rakhmat in Artikel Populer No comments
Alhamdulillah dimuat di Harian Jawa Pos Radar Semarang, 22 Januari 2017
Edisi motivasi untuk selalu berkarya ...
Siswa
Kepo, Mengapa Tidak?
Oleh
: Nur Rakhmat
“Pak sedang membaca
apa?”, tanya Sinta ketika saya sedang membaca buku pada waktu jeda istirahat di
perpustakaan.
Sebuah
pertanyaan sederhana dari seorang siswa kepada guru yang mungkin sudah jarang
kita temui saat ini. Terlebih pertanyaan tersebut muncul bukan saat proses
kegiatan belajar mengajar di kelas. Tentu menjadikan sekilas peristiwa tersebut
menjadi sesuatu yang manarik untuk dikaji lebih mendalam.
Apalagi
di zaman yang serba dikelilingi oleh kemajuan teknologi saat ini di mana
tingkat ketertarikan siswa untuk lebih memiliki rasa ingin tahu semakin menipis
dan memudar, membuat kita sebagai guru juga memiliki rasa ingin tahu, bagaimana
cara menumbuhkan rasa ingin tahu siswa seiring dengan semakin mudahnya siswa
mengakses berbagai informasi dari kemajuan teknologi informasi yang semakin
pesat.
Kemudian
bagaimana cara untuk menumbuhkan rasa ingin tahu siswa atau menumbuhkan kekepoan siswa di era yang semakin
digital dan modern ini?
Menjadi
Teladan Siswa
Ya!
Keteladanan guru adalah langkah pertama dan utama yang harus dilakukan seorang
guru agar siswa lebih mempunyai rasa ingin tahu atau kepo. Tentu teladan disini adalah keteladanan guru yang terkait
dengan perilaku positif dan pembiasaan positif yang mendukung siswa agar
semakin tahu terhadap materi pelajaran atau ilmu pengetahuan lainnya dalam
proses belajar yang dijalaninya.
Apalagi
tugas guru dalam proses belajar mengajar tidak hanya sebatas menyampaikan
materi pelajaran saja. Tetapi dalam lingkup yang lebih luas guru juga mempunyai
kewajiban untuk mendorong, membimbing, dan memberi fasilitas belajar bagi siswa
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan baik secara langsung maupun
tidak langsung. (Slameto,2010:97).
Selanjutnya
apa saja keteladan guru yang dapat dilakukan sebagai bentuk pendorong siswa
agar lebih kepo akan ilmu pengetahuan guna mencapai tujuan pembelajaran dalam proses
pendidikan yang dilaluinya. Hemat kami ada tiga bentuk keteladanan guru yang
dapat dijadikan patokan agar rasa ingin tahu atau kekepoan siswa tumbuh dan semakin tumbuh.
Yang
pertama adalah guru harus banyak membaca. Dengan banyak membaca secara otomatis
tingkat pengetahuan guru juga semakin meningkat. Dan pengetahuan yang dimiliki
guru juga semakin up date. Tentu hal
ini akan menjadikan siswa lebih tertarik mengikuti pembelajaran kepada guru
yang lebih banyak membaca daripada seorang guru yang hanya banyak bicara tetapi
sedikit membaca.
Selain
karena pengetahuan yang dimiliki guru semakin baru dan semakin kekinian, guru
yang lebih banyak membaca juga akan lebih mudah dan menarik dalam menjawab
pertanyaan dari siswa. Jawaban yang diberikan ke siswa juga semakin kaya dan
variatif serta tidak monoton saja. Sehingga dalam proses pembelajaran siswa
tidak merasa bosan dan semakin senang karena pengetahuan yang dimiliki guru
juga semakin banyak.
Selain
itu, guru yang semakin banyak membaca juga lebih besar pengaruhnya dalam
mendorong karakter kognitif atau pengetahuan siswa. Mengapa demikian? Ini
dikarenakan, guru yang semakin luas pengetahuannya, dalam proses pembelajaran
juga akan lebih fleksibel dan bijak serta tidak kaku dalam merespon setiap
tindakan siswa. Tentu hal ini akan merangsang daya kreatifitas siswa dalam
menyikapi setiap permasalahan yang diberikan guru. Dan tentunya hal ini akan
lebih mempermudah guru untuk mencapai tujuan pembelajaran karena dalam segi
kognitif atau pengetahuannya siswa sudah meningkat lebih baik.
Kemudian
bentuk keteladan kedua yang bisa dilakukan guru agar dapat menumbuhkan sikap
rasa ingin tahu siswa atau kekepoan
siswa adalah guru harus mempunyai semangat yang tinggi dalam proses belajar dan
mengajar. Mengapa seorang guru harus mempunyai semangat tinggi dalam proses
belajar dengan siswa? Karena baik langsung maupun tidak langsung, saat seorang
guru semangat dalam mengajar dan mendidik siswanya, ada pengaruh yang sangat besar
juga bagi siswa.
Dan
sudah pasti, pengaruh yang utama tersebut bagi siswa adalah siswa juga semangat
dalam belajar! Dan jika siswa sudah semangat dalam belajar, tentu dalam proses
belajar mengajar dengan guru baik di kelas maupun di luar kelas, siswa juga
akan semakin mudah dan lancar serta tentu proses ataupun hasil pembelajaran yang
dirasakan oleh guru maupun siswa akan lebih bermakna pula.
Namun
tentunya, proses ataupun hasil pembelajaran yang bermakna ini tidak lepas dari semangat
tinggi guru dan siswa yang bisa berjalan seiya dan sekata. Dalam istilah
kerennya, antara semangat guru dan siswa sudah ada chemistry yang baik untuk mencapai tujuan bersama saat proses
belajar mengajar
Nah,
di sinilah peran guru sebagai motivator ulung bagi siswa dibutuhkan. Apalagi
dalam proses belajar antara siswa yang satu dengan yang lain mempunyai motif
atau tujuan yang juga berbeda satu sama lain. Tentunya guru juga dituntut untuk
lebih mendalami apa motif dan tujuan dari masing masing siswa tersebut.
Seorang
guru juga dituntut untuk lebih mendalami karakteristik masing-masing siswa
untuk lebih menumbuhkan semangat siswa yang berbeda pula. Dan tentunya guru
juga dituntut untuk lebih jeli dalam melihat potensi yang ada pada
masing-masing siswa. Di sinilah seorang guru berperan menjadi motivator ulung
bagi diri dan siswanya. Dengan harapan agar dengan semangat yang dimiliki guru,
siswa juga semakin lebih semangat dan rasa ingin tahunya juga meningkat pula
dalam mencapai tujuan proses belajar mengajar.
Lalu
langkah apa saja yang bisa dilakukan guru untuk menjaga semangat siswa?
Diantaranya guru bisa menggunakan media pembelajaran yang tepat saat proses
belajar mengajar berlangsung. Dan guna mencapai hasil optimal, media
pembelajaran yang digunakan pun alangkah baiknya bukan hanya satu media. Tetapi
seorang guru harus mampu menggunakan banyak media agar pembelajaran semakin
variatif dan menarik serta tentunya semangat siswa dan guru juga semakin
meningkat.
Selain
itu guru juga bisa memberikan stimulasi yang menarik guna menantang daya pikir
siswa agar lebih meningkat. Guru juga bisa memberikan kebebasan yang
bertanggung jawab serta dukungan dan bantuan kepada siswa saat menghadapi
kesulitan dengan harapan, semangat siswa semakin baik dan kreatifitas serta
daya nalar siswa juga semakin baik pula.
Kemudian
agar semangat siswa selalu ideal guru juga harus pandai mengatur strategi dalam
pembelajaran. Mengapa demikian? Karena jika guru bisa mengatur ritme
pembelajaran dan dalam pembelajaran guru bisa memvariasikan teknik dan metode
pembelajaran yang baik, sikap kritis siswapun akan tumbuh. Terlebih saat ini
kita menggunakan kurikulum nasional dimana pendekatan pembelajaran yang
digunakan harus saintifik dengan sikap 5 M sangat dikedepankan. Apa itu 5 M, mengamati,
menanya, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan.
Lalu
bentuk keteladan ketiga yang bisa dilakukan guru agar dapat menumbuhkan sikap
rasa ingin tahu siswa atau kekepoan
siswa adalah guru juga harus kepo. Ya,
guru harus kepo jika siswanya ingin kepo juga. Dan kepo atau rasa ingin tahu bagi guru adalah hukumnya wajib.
Mengapa
seorang guru wajib memiliki rasa ingin tahu tinggi atau kepo banget? Hal ini dikarenakan guru adalah pendidik yang
profesional, tentunya dengan predikat profesional tersebut, guru juga harus
selalu belajar, belajar, dan belajar. Selain agar pengetahuan yang dimiliki
semakin meningkat, dengan selalu belajar, hal yang belum dikuasai atau belum
dimengerti oleh guru akan bisa terpenuhi.
Sehingga
tidak ada lagi guru yang ketinggalan zaman, tidak ada lagi guru yang kurang
pengetahuan dan tidak ada lagi guru yang gaptek (Gagap teknologi) di era yang
semakin meningkat pesat perkembangan ipteknya ini.
Selain
itu, dengan guru selalu belajar dan selalu mempunyai rasa ingin tahu dalam
ranah yang dimilikinya atau di luar ranah yang dimilikinya, tingkat standar
pendidik yang dimiliki guru juga semakin baik. Sehingga salah satu standar
pendidikan dari delapan standar pendidikan yang ada sudah terpenuhi.
Selanjutnya,
dengan guru yang mempunyai rasa ingin tahu, siswa juga termotivasi untuk lebih
tahu pula. Siswa terinspirasi untuk mengikuti gurunya yang mempunyai rasa ingin
tahu. Sehingga dampaknya siswa juga turut serta terdorong untuk belajar, belajar,
dan belajar. Sehingga peran guru sebagai inspirator bagi siswanya dari sudut
pandang ini terpenuhi.
Namun,
sebagai guru kita juga harus mampu melindungi siswa dari ancaman yang sifatnya
mengancam rasa ingin tahu siswa akan hal positif. Karena bukan tidak mungkin,
muncul kepo yang sifatnya negatif pada siswa. Sehingga di sinilah komunikasi
yang efektif dan terbuka antara guru dan siswa diperlukan. Dengan harapan
antara guru dan siswa mampu bekerja sama dan mampu belajar bersama guna
kemajuan dalam menuju proses maupun hasil belajar dan mengajar yang lebih
bermakna.
Akhirnya,
sebagai pendidik profesional, mari sebagai guru wajib mempunyai rasa ingin tahu
yang positif agar siswa juga terinspirasi untuk selalu meningkatkan karakter
positifnya dan kita sebagai guru juga mampu meningkatkan kompetensi yang kita
miliki sebagai bekal menjaga tingkat keprofesionalitasan kita serta sebagai
sarana dalam meningkatkan kecerdasan bangsa guna mencapai Indonesia yang lebih
baik dan lebih bermartabat. Amin...semoga.
Nama : Nur Rakhmat,S.Pd.
Guru SDN
Kalibanteng Kidul 01. Semarang Barat. Kota Semarang.
Kamis, 02 November 2017
On 14.58 by Nur Rakhmat in Artikel Populer No comments
Pendidikan Yang Menentramkan
Alhamdulillah terbit di Harian Pagi Wawasan, 01/11/2017
Sebuah harapan tentang kondisi pendidikan yang didambakan ...
Pendidikan
yang Menentramkan
Oleh
: Nur Rakhmat
Dewasa
ini, pendidikan di Indonesia sedang belajar menuju ideal. Berbagai upaya
dilakukan pemerintah untuk menuju bentuk ideal pendidikan tersebut. Mulai dari
penataan dan peningkatan mutu guru, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan,
sampai perubahan kurikulum, seolah menjadi solusi wajib bagi pemerintah untuk
menuju bentuk ideal pendidikan tersebut.
Namun
ternyata, semua usaha pemerintah tersebut saat ini dampaknya masih belum bisa
dirasakan optimal, baik oleh guru, masyarakat, maupun oleh orang tua. Masih
adanya guru yang belum bersertifikasi, masih adanya guru yang tidak linear
sesuai bidang yang diampunya, masih adanya pungutan di sekolah, masih adanya
kekerasan atau bulying yang menimpa peserta didik, masih adanya masyarakat yang
kesulitan untuk mengakses pendidikan dan masih belum konsistennya pemangku
kepentingan dalam mewujudkan pendidikan ideal adalah semua bukti bahwa masih
ada hal yang perlu dibenahi untuk mewujudkan bentuk ideal pendidikan di Indonesia.
Akan
tetapi, sebelum kita mencari solusi apa yang dapat digunakan untuk membentuk
bentuk ideal pendidikan, kita harus tahu terlebih dahulu apa sebenarnya
kebutuhan mendasar yang diperlukan masyarakat setelah mengenal pendidikan? Apakah
ingin menjadi seorang ilmuwan? Apakah ingin menjadi dermawan? Ataukah hanya
sebagai prestise kebanggaan semata?
Lalu
untuk apa kebutuhan mendasar tersebut diperlukan? Apakah ada kaitannya dengan
pendidikan di tanah air? Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, kita lihat
sekeliling kita, masih banyak warga yang kurang sejahtera, masih banyak pula
warga yang sejahtera namun belum bisa hidup damai, tenang dan tentram, dan
masih banyak permasalahan sosiap lainnya. Lalu apakah kebutuhan mendasar yang
sangat diperlukan oleh masyarakat tersebut?
Ketentraman
Ya,
kehidupan tentram! Jadi hemat penulis, masyarakat sangatlah membutuhkan
pendidikan yang menentramkan. Masyarakat sangatlah membutuhkan kehidupan yang
tentram, kehidupan yang menenangkan. Bukan kehidupan yang sejahtera ataupun
kehidupan yang penuh gejolak, baik jiwa ataupun jasmani masyarakat.
Berpijak
dari itu, sebenarnya pemerintahpun sudah memprogamkan pendidikan yang
menyejahterakan. Namun untuk saat ini, bentuk pendidikan yang menyejahterakan
masih kurang cukup. Karena belum tentu, masyarakat yang dikatakan hidup
sejahtera bisa menjalani kehidupan yang tentram dan damai. Maka, masyarakat
butuh konsep dan bentuk yang jelas sebagai imbas dari pendidikan, yaitu bentuk
pendidikan yang menentramkan.
Mengapa
pendidikan yang menentramkan sangat diperlukan oleh masyarakat daripada hanya
pada hanya pendidikan yang menyejahterakan atau lainnya? Sesuai amanat Undang-undang
No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dikatakan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Jadi,
dari amanat undang-undang ini sudah sangat jelas,bahwa ke depannya peserta
didik diharapkan untuk bisa menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang
cerdas dan manusia yang berkarakter, tidak hanya menjadi manusia yang cerdas
saja atau berkarakter saja.
Karena
dengan hanya menjadi manusia cerdas, manusia tersebut belumlah bisa dikatakan
manusia sesungguhnya. Sebaliknya manusia yang berkarakter saja, hemat kami juga
belum bsia dikatakan sebagai manusia yang sesungguhnya. Oleh karena itu, kedua
faktor tersebut, yakni cerdas dan berkarakter haruslah ada pada diri peserta
didik, guru, masyarakat, bahkan pada diri pemangku kepentingan pendidikan di
tanah air.
Mengapa
cerdas dan berkarakter penting? Karena kedua faktor tersebut adalah cikal bakal
pendidikan yang menentramkan. Mengapa demikian? Pendidikan sebagaimana yang
disampaikan oleh semua ahli adalah jalan yang bisa digunakan sebagai sarana
untuk menjadi manusia. Artinya pendidikan sangatlah penting. Namun demikian,
pentingnya pendidikan berbanding lurus dengan usaha yang dilakukan oleh pihak
yang terlibat langsung di dalamnya, mulai dari pemerintah, guru, dan
masyarakat.
Jika
usaha yang dilakukan pemerintah lakukan optimal, pasti hasilnyapun akan
optimal. Tetapi jika usaha yang dilakukan setengah hati, pasti hasil yang
didapat juga setengah hati atau justru bisa menimbulkan sakit hati.
Selain
itu, mengapa cerdas dan berkarakter bisa sangat penting dalam menuju pendidikan
yang menentramkan, ini dikarenakan dengan cerdas dan berkarakter, manusia bisa
menempatkan bentuk penerimaan diri dengan baik, manusia bisa menempatkan sikap
syukur dengan baik. Artinya manusia bisa merasakan kehidupan tentram dan damai,
apapun kondisi hidup yang dialaminya.
Lalu,
langkah apa yang dapat digunakan untuk mewujudkan pendidikan yang menentramkan? Hemat penulis yang pertama
adalah perubahan mindset bahwa pendidikan selalu berkelanjutan dan
berkesinambungan. Artinya jika dalam proses awal atau kebijakan awal salah.
Maka seluruhnya konsep dan aplikasi yang dilakukan oleh generasi selanjutnya
juga salah.
Karena
pendidikan tidak seperti orang melakukan jual beli dengan sistem putus kontrak.
Dimana setelah kerjasama selesai, maka selesai pulalah semua kesepakatan yang
ada di dalamnya. Namun, pendidikan akan selalu berproses, akan selalu mengalir
dan mengalir dari jiwa satu ke jiwa lainnya. Oleh karena itu, akan fatal
akibatnya jika pendidikan tidak dilaksanakan sesuai dengan tujuan awalnya atau
tidak sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
Yang
kedua adalah semua pelaku pendidikan atau semua stake holder pendidikan
haruslah tentram terlebih dahulu. Baik pemerintahnya, gurunya, orang tua,
maupun peserta didiknya. Semuanya harus tentram dan tenang terlebih dahulu.
Kita ambil contoh, jika pemerintah sebagai pengambil kebijakan saja tidak
tentram atau tidak tenang saat menempatkan keputusan, tentu semua kebijakan
pemerintah akan membuat masyarakat tidak tentram, gaduh dan sebagainya. Sebaliknya,
jika pemerintah tenang dalam mengambil dan menetapkan kebijakan, pasti kondisi
masyarakat akan tentram dan damai jauh dari gejolak.
Dan
yang terakhir adalah semua harus berkomitmen dan konsisten. Mulai dari
pemerintah, masyarakat, orang tua sampai siswa, semuanya harus mempunyai
komitmen bahwa pendidikan adalah sarana untuk memperbaiki masa depan. Oleh
karena itu, agar pendidikan yang menetramkan terwujud, semua komitmen tersebut
harus selalu diugemi, harus selalu dipatuhi, baik oleh pemerintah, masyarakat,
maupun pihak orang tua dan sekolah.
Namun,
untuk membentuk pendidikan yang menentramkan tidak seperti kita membalikkan
telapak tangan. Namun dibutuhkan semangat juang pantang menyerah yang tinggi
dan mempunyai visi misi yang baik untuk masa depan peserta didik. Selain itu,
sikap berani juga dibutuhkan untuk mewujudkan pendidikan yang menentramkan
tersebut. Karena dengan sikap berani, kita sudah menunjukkan bahwa semua
membutuhkan proses, kerja keras, dan upaya yang tidak pernah berhenti sampai
titik darah penghabisan, termasuk pendidikan yang menentramkan tersebut.
Akhirnya,
mari kita bergerak bersama, maju bersama untuk mewujudkan bentuk pendidikan
yang menentramkan, mewujudkan pendidikan yang mampu membawa perubahan positif
di masa depan, pendidikan yang tidak hanya menjadikan peseerta didik untuk tahu
apa, namun juga pendidikan yang mampu membuat peserta didik mampu menginspirasi,
serta mampu menyejahterakan dan menentramkan pendidikan di masa depan. Tentunya
untuk Indonesia yang lebih cerdas, bermoral, sejahtera, berkarakter dan
tentunya Indonesia yang lebih tentram.
.Nur Rakhmat, S.Pd.
Guru
SDN Kalibanteng Kidul 01 Kota Semarang.
HP.
081542557038
Alamat
: Jalan Candi Intan V/1129 Rt.7/9 Kelurahan Kalipancur Kecamatan Ngaliyan Kota
Semarang
Langganan:
Postingan (Atom)
Search
Video
Kurtilas
Kategori
Artikel Ilmiah Populer
(23)
Bank Soal
(20)
Artikel Populer
(15)
Puisi
(12)
Berita
(11)
Kisah Sang Guru
(10)
Cerita Anak
(6)
Pidato
(4)
Buku
(3)
Dongeng
(2)
Esai
(2)
Geguritan
(2)
info lomba
(2)
Cerpen
(1)
Galeri Foto
(1)
Media Pembelajaran
(1)
Pantun
(1)
TUGAS SISWA
(1)
TUGAS SISWA 2
(1)
Tugas 4
(1)
Tugas Siswa 3
(1)
Diberdayakan oleh Blogger.