Selasa, 10 Desember 2019
On 18.45 by Nur Rakhmat No comments
Menanti Aksi Pemimpin Ramah
Guru
Oleh : Nur Rakhmat
Pemilu 2014
telah melahirkan sosok pemimpin yang ditunggu janjinya saat kampanye oleh
masyarakat, termasuk guru. Sebagai salah satu motor penggerak bangsa dan
profesi, dinamis, luwes yang bisa masuk di segala sendi kehidupan masyarakat,
guru juga menantikan gebrakan apa yang akan dilakukan pemerintah, khususnya bidang
pendidikan.
Nah,
bersama momentum hari guru dan hari lahir organisasi Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI), tanggal 25 November 2014. Pemimpin ramah guru yang lebih
peduli terhadap pendidikan khususnya guru, sangat didamba aksinya oleh seluruh
guru di tanah air.
Guru menurut
Undang-Undang No.14 tahun 2005 adalah pendidik professional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Permasalahan
Kompleks
Dari
definisi tersebut, seolah sangat mudah mewujudkan guru ideal. Tetapi sesungguhnya
dibalik mulia dan berwibawanya profesi guru. Sebenarnya banyak masalah urgen yang
harus segera diselesaikan.
Diantaranya,
persebaran guru yang tidak merata, LPTK yang kurang kredibel, kurangnya
kesejahteraan guru terutama guru honorer di sekolah negeri dan guru di sekolah
swasta kategori bukan favorit, dana sertifikasi yang sering terlambat serta
distribusi yang dipersulit.
Kemudian belum
meratanya system pengembangan dan peningkatan profesionalitas guru,
insfrastruktur pendidikan yang masih banyak ketimpangan, legalisasi kepastian
organisasi guru, dan minimnya perlindungan hukum bagi guru, menjadikan
kemuliaan guru tercederai serta potensi guru kurang bisa berkembang optimal.
Memang
tidak bisa dipungkiri, ada guru yang belum professional. Namun, seringnya semua
guru dianggap salah karena tidak bisa menjalankan tupoksi dengan baik. Tindakan
tersebut jelas wujud “bullying” terhadap guru.
Seperti
dalam penerapan kurikulum 2013 ini, guru seringkali dikambinghitamkan atas
belum maksimalnya implementasi K13. Padahal aspek seperti, kurang fokusnya
pemerintah terhadap progam yang diluncurkan, adanya ketimpangan infrastruktur
secara nasional yang menghambat distribusi buku dan sarana penunjang
pendidikan.
Lalu tidak
optimalnya sosialisasi dan pendampingan guru, uji public atau progam piloting
sekolah sasaran yang terkesan ambil kategori sekolah favorit saja. Menambah
daftar vonis tuduhan kesalahan terhadap guru terlihat sangat besar.
Diluar hal
tersebut, hemat penulis, factor penyebab guru sulit mencapai ideal dapat
dikelompokkan menjadi dua, factor intern dan factor ekstern. Factor intern antara
lain tingkat berbedanya profesionalitas guru, kualifikasi guru yang belum
sesuai, kurangnya motivasi guru menambah pengetahuan, dan adanya guru yang
belum siap menerima perubahan, dll.
Kemudian unsur
ekstern diantaranya kebijakan pemerintah yang tidak ramah guru, kurang
berimbangannya pemberitaan di media terkait guru, menurunnya kepercayaan
sebagaian masyarakat, kurang daya dukung masyarakat untuk peduli pendidikan, ketimpangan
infrastruktur, dan tingginya animo masyarakat menjadi guru sehingga memunculkan
LPTK “abal-abal”, dll.
Namun, masyarakat
tidak melihat factor tersebut. Mayoritas masyarakat yang “melek” pendidikan ataupun
masyarakat awam, kompak memvonis, guru tidak professional!
Kebijakan
Ramah Guru
Guna
memutus mata rantai vonis negative terhadap guru, kebijakan ramah guru bisa
menjadi solusi efektif. Salah satu bentuknya, dalam menerapkan kebijakan, pemerintah
hendaknya jangan terburu-buru. Namun, dengarkanlah dulu bagaimana aspirasi guru
dari akar rumput.
Dan pemerintah
seyogyanya juga paham jika guru satu berbeda dengan guru lain. Jangan hanya
menuntut guru untuk menghargai perbedaan siswa, Namun pemerintah juga harus
mengerti kalau tingkat pemahaman guru selayaknya murid yang mempunyai beraneka
ragam kecerdasan.
Oleh
karena itu, pemerintah seharusnya menjadi pendengar yang baik segala aspirasi
guru. Pemerintah juga tidak boleh sepihak menerapkan kebijakan tanpa adanya
konfirmasi dengan elemen guru. Pemerintah jangan hanya mendengar para pakar dan
pemerhati pendidikan yang hanya tahu teori tapi belum tentu mengerti bagaimana
kondisi riil di lapangan.
Belajar
dari kurang optimalnya beberapa progam pemerintah sebelumnya. Pemerintah
sekarang hendaknya mencari formula efektif guna memperbaiki system pendidikan
yang belum ramah guru. Wacana pembentukan Dewan Guru Nasional yang dikemukakan
beberapa tokoh, perlu direalisasikan sebagai koreksi dan proteksi terhadap
system keguruan di Indonesia.
Selain
itu, pemerintah juga perlu merekonstruksi system pembinaan guru. Memang
pemerintah sudah menerapkan Permenneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Namun, kebijakan tersebut belum
sepenuhnya ramah guru. Selain memberatkan bagi sebagian guru, esensi makna
profesi guru belum sepenuhnya tercover dalam aturan tersebut.
Dan bukan
zamannya lagi pemerintah menggertak guru dengan pencabutan dana sertifikasi
serta mempersulit hak guru. Namun, kepedulian pemerintah melibatkan guru,
memotivasi, dan mendorong guru mencapai kondisi ideal sangat didamba para guru
di tanah air.
Akhirnya
adanya kesediaan pemerintah membentuk tim yang melibatkan elemen guru guna
mengevaluasi kurikulum 2013, dikarenakan belum ada feedback nyata, perlu diapresiasi oleh guru di seluruh tanah air.(Koran Wawasan, 23/11/2014).
Dan bersama
HUT guru serta PGRI yang ke 69, semoga langkah tersebut bisa menjadi kado
termanis guru di era menteri Anies. Sehingga dalam menjalankan tugas pokok dan
fungsinya, guru bisa mencapai kondisi ideal. Demi majunya pendidikan di tanah
air yang lebih mampu bersaing dalam dinamika masyarakat global. Amin…
Salam solidaritas!!
Nama : Nur Rakhmat, S.Pd.
Anggota PGRI dan Guru SDN
Gisikdrono 2, Semarang Barat, Kota Semarang.
Hp.
081542557038
On 18.41 by Nur Rakhmat in Artikel Ilmiah Populer 2 comments
Alhamdulillah artikel ini pernah dimuat di Suara Merdeka pada tahun 2014. Ternyata setelah kurang lebih 6 tahun tindak laku kekeran di sekolah masih hampir sama dengan tahun tersebut. Artikel ini ditulis terkait kejadian data pertahun 2014. Semoga menambah hasanah literasi kita semua untuk sadar meninggalkan laku bullying dan peduli untuk menghilangkan bullying.
Ingat jangan ada bullying di antara kita !
Ingat jangan ada bullying di antara kita !
Sekolah
Ramah Anak,Antara Harapan dan Kenyataan
Oleh
: Nur Rakhmat
Semakin banyaknya tindak perilaku kejahatan seksual terhadap anak di
bawah umur yang terjadi di masyarakat, khususnya lingkungan sekolah seolah menandakan keamanan siswa-siswa kita semakin
terancam. Akibatnya, respek masyarakat untuk memercayakan pendidikan
putra-putrinya di sekolah cenderung berkurang. Padahal sejatinya, tidak semua sekolah
melakukan tindak kekerasan terhadap anak didiknya.
Saat ini nyaris tidak ada tempat aman bagi anak. Hampir semua lini, baik rumah, sekolah, maupun
lingkungan masyarakat, semuanya berbahaya bagi anak. Kekerasan terhadap anak, hampir
setiap tahun mengalami peningkatan. Data tahun 2010 kasus kekerasan dan pelecehan
seksual terhadap anak mencapai 3.339 kasus, dan tahun 2013 meningkat signifikan
menjadi 4.643 kasus. Temuan ini diikuti dengan kecenderungan masyarakat untuk bersikap
abai, dan tidak peduli serta ditengarai karena buruknya sistem pendidikan yang
ada.(Kompas,12/05/14).
Sungguh tragis dan memilukan bukan? Ibarat bola liar, terkuaknya tindak pelecehan
seksual anak yang dilakukan oleh petugas kebersihan JIS, menjadi pembuka
banyaknya temuan kekerasan terhadap anak. Seperti terbongkarnya kasus kejahatan
seksual terhadap siswi salah satu swasta SMP mahal di surabaya yang dilakukan oleh
oknum guru madrasahnya. Dan tewasnya Dimas Dikita Handoko taruna Sekolah Tinggi
Ilmu Pelayaran yang dianiaya dan dipukuli oleh seniornya.
Lalu kasus tewasnya Renggo Khadafi siswa kelas V SDN 09, Kampung
Makassar, Jaktim ,yang dipukuli kakak kelasnya gara-gara menyenggol botol
minuman. Padahal menurut keterangan sudah diganti, tetapi kakak kelasnya tersebut
masih memukulinya juga. Akibatnya, hari berikut Renggo demam tinggi dan tidak
masuk sekolah sebelum akhirnya meninggal dalam perjalanan ke Rumah Sakit.(SM,05/05/14).
Kemudian kasus penganiayaan yang menimpa Rexi Mainaqi siswa salah satu SD
swasta di kecamatan Banyuurip, Kab. Purworejo. Yang dilakukan oleh temannya sendiri
pada saat jam kosong, sehingga menyebabkan Rexi terluka parah dan mendapat
perawatan di Rumah Sakit, juga menambah makin masifnya kekerasan terhadap anak.(SM,12/05/14).
Semua kejadian tersebut seolah menjadi cambuk dan kado pahit bagi pemerintah
untuk lebih peduli lagi terhadap pendidikan Indonesia.Yang saat ini sedang
mencari arah menuju pendidikan ideal, bermakna, bermoral dan bermartabat.
Menurut UU No.23 Tahun 2002 tentang pelindungan anak. Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 tahun termasuk pula anak yang masih dalam kandungan. Jadi
anak adalah manusia yang masih sangat membutuhkan kasih sayang dari siapapun dan
di manapun, untuk mencapai tumbuh kembang optimal. Baik itu dari lingkungan
keluarga, sekolah maupun masyarakat. Sehingga perkembangan otak, mental dan
psikologi anak bisa maksimal. Apalagi bagi anak yang masih dalam kategori golden
age atau usia emas, antara 0-6 tahun tentu membutuhkan perhatian lebih dari
lingkungannya terutama, orang tua dan guru.
Terkait meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak, khususunya di sekolah. Ada
beberapa hal spesifik yang dapat menjadi tanda, anak dalam kondisi darurat bahaya
kekerasan. Seperti, kurang semangat belajar/sekolah, tidak bisa mengendalikan
diri, selalu melihat dirinya sebagai korban, depresi, suka mencari perhatian, menarik diri dari keluarga atau teman, pemalu, terlihat putus asa, dll.
Parameter tersebut sudah terbukti dalam kasus pelecehan seksual pada
siswa JIS yang dilakukan oleh petugas cleaning service. Korban selalu berontak
jika sedang dipakaikan celana oleh orang tua. Lalu pada kasus Renggo, kondisi demam
tinggi bisa jadi merupakan bentuk depresi yang menyebabkan dirinya dilarikan ke
rumah sakit, sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Lalu bagaimana
supaya tindak kekerasan atau bullying terhadap anak dapat dihindari?
Demokratis
Untuk mengurangi tren meningkatnya
kekerasan terhadap anak, pemerintah sebenarnya sudah berupaya maksimal dengan menerbitkan
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan membentuk KOMNAS
perlindungan anak. Namun semua usaha pemerintah tidak akan berhasil optimal jika
tidak didukung oleh unsur terkait. Mulai dari guru, tenaga pendukung
sekolah, siswa, komite sekolah, lingkungan sekolah, sampai instansi terkait, dll.
Zainal Aqib (2013) menuturkan untuk
mewujudkan sekolah ramah anak perlu sistem pembelajaran yang ramah guru dan
ramah anak. Artinya saat pembelajaran berlangsung, guru sebisa mungkin harus
menggunakan pendekatan yang fleksibel atau lebih menekankan aspek perasaan baik
(khusnudzan) pada siswa. Dimana semua tingkah laku siswa dianggap mempunyai
tujuan baik. Bukan berarti lepas kendali, namun guru perlu melakukan pendekatan sikap
yang penuh makna dan tidak melakukan berbagai bentuk kekerasan, baik fisik
ataupun psikis ke anak.
Jadi dalam pembelajaran, guru harus
bisa bersikap demokratis ke semua siswa. Jangan sampai guru tidak adil atau membedakan
perlakuan antara siswa satu dengan lainnya. Karena ini dapat memicu kecemburuan atau
ketegangan antar siswa, yang muaranya bisa terjadi tindak kekerasan horisontal
antar anak.
Guru juga harus mampu memahami
karakter dan keunikan anak. Serta mampu mengubah mindset bahwa kecerdasan tiap anak
berbeda. Bisa jadi anak lemah di matematika, tetapi dalam bermusik anak handal
ataupun sebaliknya. Ini menunjukkan bahwa kecerdasan anak tidak hanya kognitif, namun
adapula musik, personal, intrapersonal, linguistik, dll. Hal ini sesuai dengan apa
yang dikemukakan pakar pendidikan, Howard Gardner dengan teori dahsyatnya,
Multiple Intelligences.
Dapat Dicegah
Mengingat bahayanya dampak kekerasan
terhadap anak, baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Dalam jangka
pendek seperti kematian, minder, luka fisik permanen, ataupun meningkatnya
perilaku negatif anak. Dan dampak jangka panjang seperti dendam,k urang bisa
bersosialisasi, penyimpangan perilaku dan kemungkinan menjadi pelaku kajahatan
di kemudian hari, benar-benar darurat untuk dicari penyelesainnya.
Dalam kasus korban cenderung menjadi
pelaku di kemudian hari, ini tampak pada kasus pelecehan seksual terhadap siswa
JIS. Dimana salah satu pelakunya pernah mengalami pelecehan seksual di masa
kecil, yang diduga dilakukan oleh penjahat pedofilia internasional yang menyaru
mejadi guru di sekolah tersebut.
Melihat besarnya akibat negatif yang ditimbulkan dari kekerasan anak di
sekolah. Baik kekerasan seksual, fisik, verbal, psikis dan emosi. Ada beberapa usaha
yang dapat sekolah lakukan guna mencapai predikat sekolah ramah anak. Pertama, menekankan
pentingnya pendidikan seks sejak dini. Progam ini bukanlah hal yang tabu untuk
dibicarakan. Jangan sampai anak justru tahu tentang seks dari lingkungan yang
salah. Selain dapat berakibat siswa dalam pusaran pornoaksi dan pornografi, pendidikan seks yang salah juga
dapat menjerumuskan siswa dalam pergaulan bebas. Apalagi saat ini, teknologi
informasi semakin murah dan mudah diakses.
Kedua, tingkatkan komunikasi antara
sekolah dengan orang tua. Ini sangat urgen dilakukan, karena mayoritas orang tua, jika
anaknya sudah masuk sekolah, mereka cenderung abai akan perkembangan anak. Padahal
mendidik anak bukan hanya tugas guru di sekolah, namun orang tuapun sangat
berperan penting dalam perkembangan anak mencapai kematangan jiwa dan pikirnya.
Ketiga, perbaiki budaya keseharian sekolah. Artinya
perlu adanya hubungan yang baik antara kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan
dan siswa. Sehingga bila suasana religius, kekeluargaan, kasih sayang, peduli dan
saling menghargai, dan tahu antara hak, tugas
serta kewajiban masing-masing di sekolah terbentuk. Nantinya diharapkan terwujud
suasana yang kondusif serta ramah, dan aman bagi semua warga sekolah utamanya
siswa.
Keempat, pertegas aturan. Untuk
membuat efek jera pelaku kekerasan terhadap anak, sangat diperlukan aturan yang
tegas dan kuat. Misalnya jika pelakunya oknum guru, bisa dipenjarakan atau
dimutasi, dan bentuk hukuman lainnya. Lalu bila pelakunya temannya di
sekolah, karena masih anak-anak, pertama segera tegur, namun jika masih mengulangi
bahkan semakin beringas dan brutal. Opsi pengembalian anak ke orang tua dan menyerahkan
anak ke lembaga hukum berwenang bisa dipilih. Karena hal ini sudah bukan
kekerasan lagi, tetapi sudah menjurus kasus kriminalitas.
Kelima, perketat pengawasan
anak, khususnya di sekolah. Seperti kasus Rexi, disinyalir guru lalai mengawasi
anak. Dikarenakan guru melakukan takziah, sehingga kontrol terhadap anak kurang. Sebagai
bahan pertimbangan, takziyah hendaknya diwakili sebagian guru ,ataupun bergantian. Sehingga
tidak meninggalkan jam efektif dan siswa tetap dalam pengawasan guru.
Meski berbagai usaha sudah
ditempuh untuk mewujudkan sekolah ramah anak. Namun jika tidak didukung oleh loyalitas, komitmen
dan kesadaran untuk konsisten mewujudkannya. Usaha ini akan sia-sia, dan justru bisa
jadi memperburuk keadaan. Mental positif dan tingkat spiritualitas warga sekolah
sangat diperlukan untuk mengawal terbentuknya sekolah ramah anak ini.
Oleh sebab itu mari kita dukung
upaya semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, dan sekolah untuk mewujudkan
sekolah ramah anak. Demi terciptanya suasana sekolah yang kondusif, aman, mampu
mewujudkan pelayanan optimal dan mampu dipercaya masyarakat serta dapat
menghasilkan proses, hasil pembelajaran berkualitas demi pendidikan Indonesia
yang lebih baik.
Sehingga sekolah ramah anak bukan
hanya harapan dan impian saja. Namun mampu diwujudkan, sebagai embrio terwujudnya
pembangunan nasional Indonesia. Guna membentuk generasi muda yang unggul, cerdas, dan
bermoral. Demi terwujudnya Indonesia yang kuat dan bermartabat dalam percaturan
internasional. Semoga!
Biodata
Nama : Nur Rakhmat,S.Pd.
Pecinta
pendidikan,Guru SDN Gisikdrono 2
Semarang, Kota Semarang
Hp.
081542557038.
NB.
Tulisan ini adalah versi tahun 2014 saat awal latihan nulis. Tulisan yang ada adalah tulisan versi asli, dan versi cetak tentu kalimat dan susunannya lebih baik, karena dibantu edit oleh editor. Jadi selamat membaca dan jangan ada bullying di antara kita.
Senin, 09 Desember 2019
On 15.28 by Nur Rakhmat in Artikel Ilmiah Populer 1 comment
Ketika Sang Guru
Merdeka
Oleh : Nur Rakhmat
Bangsa
besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan. Guru, sebagai pahlawan tanpa
tanda jasa, tentu sangat dihargai kiprahnya oleh pemerintah dan masyarakat.
Terlebih pasca reformasi, pemerintah telah menggulirkan berbagai apresiasi
kepada guru. Undang-undang SISDIKNAS, Undang-undang Guru dan Dosen, setifikasi
adalah beberapa wujud apresiasi tersebut.
Sebagai
anggota masyarakat, guru juga bisa dikatakan memiliki posisi terhormat. Sebagai
bukti, banyak posisi penting masyarakat diduduki guru. Sehingga tidak jarang,
masyarakat melabeli guru dengan istilah hangabehi, karena mampu “mrantasi”
segala bidang yang dibutukan masyarakat.
Namun,
apakah segala bentuk penghargaan tersebut mampu memerdekakan guru secara utuh?
Menurut Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Guru adalah
pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan melakukan evaluasi peserta didik pada
jenjang pendidikan anak usia dini, jalaur pendidikan forma, pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah.
Artinya
guru adalah profesional di bidangnya, seperti dokter, advokat, apoteker. Dengan
kata lain, dalam menjalankan tupoksinya guru membutuhkan kepastian akan hak dan
kewajibannya. Baik kesejahteraan, perlindungan dalam menjalankan tugas, hak
atas kekayaan intelektual, memperoleh rasa aman, memiliki peran dalam penentuan
kebijakan pendidikan, pengembangan kompetensi, dll.
Belum
Sepenuhnya Merdeka
Terlepas
dari dikotomi guru negeri dan swasta. Di era modern, guru belum bisa lepas
sepenuhnya dari sosok “Omar Bakrie”. Lewat syairnya, Iwan Fals menyindir
pahlawan tanpa tanda jasa ini dalam arti sebenarnya. Pasalnya, di tengah
sanjungan gelar dan bayaknya penghargaan yang diberikan, nasib guru saat ini
masih ada yang nelongso di tengah kehidupan hedonis dan digitalis ini.
Buktinya
dari 11 poin dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, pasal 14 tentang hak guru,
baru beberapa saja yang dapat dikatakan ramah atau memihak guru. Artinya
pemerintah belum menjalankan secara utuh amanat UU tersebut. Adanya gaji guru
dibawah UMR, intimidasi terhadap guru, oknum yang memanfaatkan guru, belum
terlepasnya guru dari pusaran politik adalah bukti lain dari lalainya
pemerintah akan sang pahlawan tanpa tanda jasa ini.
Walau
sudah merdeka, praktik seperti itulah yang mengakibatkan guru belum sepenuhnya
merdeka. Tragis memang, terlebih tugas guru begitu mulia dan sangat mendukung
keberhasilan progam pembangunan nasional bangsa.
Menurut
penulis, ada beberapa bentuk belum merdekanya guru. Pertama, kesejahteraan
guru. Guru sejahtera adalah keniscayaan, terlebih setelah sertifikasi. Namun,
belum semua guru tersertifikasi. Sehingga ketimpangan guru tetaplah ada.
Apalagi bagi guru honor serta guru di daerah terpencil, banyak dari mereka
upahnya belum layak. Jangankan membeli barang “bagus”, untuk kelangsungan hidup
sebulan saja terkadang kurang. Hanya keihlasan dan kepedulian mereka akan
pendidikanlah yang membuat mereka bertahan jadi guru. Disinilah perhatian
masyarakat dan pemerintah dibutuhkan
guna menyejahterakannya.
Kedua,
pusaran politik. Adanya otonomi daerah berimbas pada otonomi pendidikan.
Efeknya guru dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab saat kontestasi
pemilu dan pemilukada. Faktor banyaknya guru kerap dijadikan kendaran politik
oknum tertentu dalam ajang perpolitikan negeri ini. Inilah salah satu hal yang
menyebabkan kesucian dan kesakralan guru
berkurang.
Ketiga,
ancaman hukum. Tidak ada yang membantah, profesi guru butuh kompetensi khusus.
Guru dibekali kemampuan edukasi, psikologi, konseling, managerial, spiritual
dan sosial yang baik. Namun, guru juga riskan terjerat pelanggaran HAM dan
kekerasan anak. Dalam banyak kasus, jika guru tidak kompeten mereka bisa terjerat
UU perlindungan anak, pelanggaran HAM, dan bullying. Maka sikap profesional
guru dengan empat kompetensi dasar dan kompetensi pendukung mutlak dibutuhkan
jika ingin terhindar dari ancaman hukum tersebut.
Keempat,
intimidasi. Dalam menjalankan tugas, guru seringkali mendapat intimidasi baik
internal maupun eksternal. Intimidasi internal bisa dari “oknum tertentu” untuk
menyukseskan doktrin progamnya supaya berhasil atau tidak kehilangan “pamor”.
Intimidasi eksternal bisa ancaman pihak yang mengatasnamakan LSM atau pihak
lain dengan mencari kesalahan-kesalahan guru. Akibatnya guru tidak bisa all
out dalam mendidik dan membelajarkan anak supaya mendapat didikan secara
optimal dari guru.
Wujud
Ideal
Guru
merdeka adalah wujud guru ideal harapan bangsa. Guru merdeka bisa mencurahkan
kemampuan terbaik dalam mendidik anak. Guru merdeka bisa bekerja nyaman dan
tenang guna keberhasilan peserta didiknya. Guru merdeka selain selalu mengupdate
keilmuan dan ketrampilan sesuai kompetensinya, juga selalu mengembangkan
seluruh potensinya dalam berkarier dan memberikan manfaat terbaik bagi sesama.
Perlu
komitmen semua pihak guna mewujudkan guru merdeka. Pemerintah melalui
kementrian terkait hendaknya berkomitmen dalam memenuhi hak guru. Jangan sampai
adalagi tertundanya dana sertifikasi, belum sesuainya standar kualifikasi guru
dan belum meratanya kompetensi guru. Jika hal tersebut terjadi, malpraktik
pendidikan akan mudah masuk dan merusak sistem pendidikan kita.
Lalu dalam membuat kebijakan hendaknya yang
ramah guru. Supaya dalam implementasinya, progam tersebut tidak menjadi
bumerang bagi pemerintah. Siapkan infrastruktur pendukung guna suksesnya progam
tersebut. Seperti dalam implementasi kurikulum 2013 ini, walaupun guru siap,
jika sarana pendukung seperti buku, IT, belum siap tentu hasilnya jauh dari
optimal.
Kemudian
peran serta masyarakat juga penting membantu mewujudkan guru merdeka.
Masyarakat bisa menjadi partner efektif guru untuk memaksimalkan seluruh
potensi anak didiknya. Lingkungan masyarakat bisa menjadi sumber belajar
konkret anak. Terlebih dalam K13, siswa membutuhkan objek nyata dalam memahami
dan menguasai serta mengimplementasikan pembelajaran.
Guru
merdeka adalah mutlak. Banyak manfaat yang dipetik jika guru terbebas dari
belenggu di atas alias sudah merdeka. Dalam kehidupan, guru semakin makmur yang
berimbas pada kondisi nyaman, menyenangkan, dan nuansa keilmiahan dalam tiap
pembelajaran. Guru juga makin kreatif, all out atau memaksimalkan seluruh
kemampuannya dalam proses pembelajaran.
Akhirnya,
karena tercipta pembelajaran aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan, maka
bisa dipastikan kemampuan siswa dapat optimal. Sehingga guru sebagai agen
perubahan terwujud, dan bisa menjadi model, teladan, inspirasi bagi siswa
sebagai generasi penerus bangsa dalam menyukseskan pembangunan nasional.
Amin...
Nama : Nur
Rakhmat,S.Pd.
Peminat kajian pendidikan. Guru SDN Gisikdrono 2, Semarang Barat, Kota
Semarang.
Hp. 081542557038
Ketika Sang Guru Merdeka. Alhamdulillah artikel ini terbit di tahun 2014 di harian Suara Merdeka, saat kami masih mengajar di SDN Gisikdrono 2 Semarang.
Insya allah masih relevan dengan kondisi sekarang, Selamat membaca dan semoga menjadikan motivasi dan refleksi untuk kita semua, demi pendidikan yang lebih baik.
Selasa, 03 Desember 2019
On 18.10 by Nur Rakhmat in Artikel Ilmiah Populer No comments
Awas
Ada Rapot
Oleh
: Nur Rakhmat
Penilaian
Akhir Semester (PAS) gasal di tahun pelajaran 2019/2020 sudah hampir selesai. Rapot
sebagai salah satu “buku sakti” guru serta orang tua untuk melihat seberapa
jauh dan seberapa dalam anak mencapai target tujuan pembelajaran menjadi
sesuatu yang paling ditunggu kehadirannya di kalangan orang tua maupun guru.
Mengapa
demikian? Selain sebagai “buku sakti”, rapot juga masih menjadi pedoman mutlak
sebagian orang tua dan guru dalam menilai anak. Artinya, berdasar hasil rapot
yang ada, masih ada fenomena yang berkembang di sebagian masyarakat kita. Bahwa
rapot menjadi tolok ukur anak dikatakan pintar atau tidak..
Memang
hal tersebut tidak salah, karena rapot memang berisi nilai dan deskripsi atas
capaian hasil belajar anak selama masa penilaian atau selama evaluasi
berlangsung, baik itu evaluasi aspek pengetahuan ( kognitif), sikap (Afektif),
dan keterampilan (psikomotor). Jadi, memang tidak salah jika anak yang rapotnya
bagus berarti anak tersebut pintar dan begitupula sebaliknya.
Lalu
sikap apa yang hendaknya kita wujudkan ?
Bijak
Ya,
hemat kami bijak adalah sikap yang tepat diterapkan jika hasil rapot anak sudah
kita ketahui. Namun, selain bijak, kita juga harus sadar, bahwa untuk
mengetahui dan menilai anak dikatakan pintar dan sejenis pelabelan lainnya,
orang tua dan gurupun wajib menjadi lebih dari sekadar orang tua dan lebih dari
sekadar guru.
Artinya
kita harus paham betul kondisi anak. Bahkan menurut Bapak Munif Chatib, tokoh
kecerdasan ganda tanah air, orang tua dan guru atau siapapun yang bergelut
dengan dunia anak haruslah bisa dan mampu menjadi penyelam yang baik bagi anak.
Mengapa
demikian? Ini dikarenakan berkaitan erat dengan dampak yang ditimbulkan dari
adanya pelabelan terhadap anak tersebut. Jika label yang diberikan ke anak
tersebut adalah bentuk pelabelan positif seperti pintar, cerdas dan lain
sebagainya, tentu hal tersebut bisa sebagai bentuk apresiasi, motivasi bagi
anak untuk bisa semakin maju.
Namun,
bila pelabelan tersebut berupa ungkapan atau kata yang sifatnya negatif seperti
bodoh, atau sebutan negatif lain yang sifatnya terus menerus, tentu hal
tersebut bisa membawa dampak buruk ke anak dan berakibat anak bisa menjadi
introvet, pendiam, kurang percaya diri dan bahkan bisa menjadi sasaran tindakan
bullying oleh teman temannya.
Maka
dari itu, sikap bijak yang dapat kita wujudkan diantaranya adalah bersyukur.
Ya, syukur adalah salah satu sikap perilaku positif yang wajib kita budayakan
di lingkungan kita masing masing. Selain sebagai “bahasa Tuhan”, syukur adalah
bentuk tertinggi penerimaan terhadap sesuatu. Bentuknya bisa dengan syukur
ucapan, dengan cara memuji, menenangkan anak, tidak memarahinya, dan lain
sebagainya.
Selanjutnya
yang kedua adalah sadar. Sebagai orang terdekat anak, kita harus sadar kemampuan
anak dalam menyerap informasi atau pengetahuan yang didapat. Sehingga, dengan
kita sadar, kita juga semakin sabar dan bersyukur, karena sudah mengetahuai
salah satu aspek kondisi anak.
Sikap
bijak selanjutnya adalah menerima. Sebagai guru dan orang tua yang baik, tentu kita
akan menerima apa adanya kondisi anak. Karena dengan menerima, kita juga secara
tidak langsung memotivasi anak untuk lebih baik lagi, serta melindungi anak dari
tindakan bullying.
Dan
sikap bijak yang terakhir hemat kami adalah bangkit. Setelah syukur, sadar, dan
menerima apapun hasil rapot anak, kita harus bangkit dan membangkitkan semangat
anak untuk semakin baik belajar dan segera move
on menjadi lebih baik lagi. Sikap ini, penting dimiliki tidak hanya oleh
anak, tetapi orang tua, guru juga harus bisa menyatu dengan kondisi anak untuk
bisa membersamai anak menjadi lebih baik.
Maka,
mari bersahabat dengan rapot anak, dan mari bersama menggali lagi potensi anak,
agar kita semakin sadar bahwa anak yang sukses dan cerdas tidak hanya ditentukan
secara pintar matematis saja. Tetapi anak yang sukses dan cerdas adalah anak
yang juga rajin beribadah, bisa bermain band, berenang dengan baik, bisa
berkata sopan, bersikap baik, ber akhlak karimah, dan bermoral tinggi serta
memiliki karakter dan moral positif lainnya yang mampu menjadi bekal mereka
untuk menjadi generasi andalan bangsa dan mampu membawa bangsa Indonesia ini ke
arah yang lebih baik. Amin.
Awas
Ada Rapot ! Alhamdulillah ...
Nama : Nur
Rakhmat,S.Pd.
Guru SDN Kalibanteng Kidul 01. Kota Semarang.
Hp. 081542557038. Email : nurrakhmatcahayakasihsayang@yahoo.com
Jln. Candi Intan V No.1129 Rt.07 Rw.09 Kelurahan Kalipancur Kecamatan Ngaliyan
Kota Semarang 50183.
NB.
Alhamdulillah artikel ini sudah terbit di Tribun Jateng dengan judul sama dan penyempurnaan dari editor . Terimakasih ... Semoga menjadi renungan bagi kita semua.
Klik di bawah ini untuk versi media cetak Tribun jateng
Senin, 02 Desember 2019
On 17.42 by Nur Rakhmat in Cerita Anak No comments
Hari
Kartini Terakhir Nesha
Oleh
: Nur Rakhmat
Setiap
pagi sebelum pembelajaran, kelas 5 melakukan pembiasaan rutin membaca asmaul
khusna di halaman. Begitu juga dengan Nesha, dengan hikmad dia membaca asmaul
husna bersama teman-temannya. Hari itu adalah tanggal 20 April, artinya esok
hari adalah tanggal 21 April yang diperingati sebagai Hari Kartini. Nesha dan
teman-temannya juga sudah diberi tahu Bu Guru untuk memakai pakaian adat besok.
“Anak-anak, besok pagi jangan lupa
memakai pakaian adat nusantara ya” pesan Bu Endang Kepala Ssekolah SD Siliwangi
tempat Nesha belajar.
“Ya bu” jawab anak-anak serempak.
“Nes, besok pakai baju apa?” tanya
Gendis sambil berjalan masuk kelas.
“Aku, belum tahu, kemungkinan pakai
baju Padang” jawab Nesha.
“Kalau aku pakai baju koko” kata
Yusuf tiba-tiba bicara sambil lari.
“Yeee ... siapa yang tanya kamu”
kata Nesha dan Gendis serempak.
Sampai di kelas, merekapun langsung
duduk di tempat masing-masing. Nesha duduk dengan Ayu, sedangkan Gendis dengan
Desvia. Jadwal pelajaran mereka hari itu adalah Bahasa Indonesia, IPA, dan
Bahasa Jawa. Tidak ada hambatan berarti saat mereka belajar. Hanya saja, saat
pelajaran Bahasa Jawa, Nesha kelihatan agak kesulitan.
“Kamu kenapa Nes?” tanya Ayu.
“Ini Yu, aku agak sulit kalau Bahasa
Jawa” jawab Nesha.
“Memangnya kamu belum bisa?” Ayu
kembali bertanya.
“Sebenarnya agak sih ... waktu itu
aku pernah diajari Gendis, tapi sekarang lupa” jawab Nesha.
“Ya udah Nes ... nanti minta ajarin
Gendis lagi aja. Karena aku juga agak susah kalau Bahasa Jawa he he he” kata Ayu
sambil tertawa.
Nesha ikut tertawa mendengar jawaban
Ayu, kalau ternyata Ayu juga belum mahir berbahasa Jawa.
“Ayu kok belum bisa ya, padahal dia
asli Jawa kan” kata Nesha dalam hati sambil tertawa.
***
Usai
sudah seluruh pelajaran hari itu, Bu Sinta menutup pelajaran hari itu dengan
pesan agar siswa selalu melestarikan budaya daerah sebagai kekayaan nasional bangsa.
selain itu, bu guru juga berpesan agar besok jangan lupa memakai baju adat.
“Yu,
mau lihat Gendis, kok tidak ada ya” tanya Nesha pada Ayu temannya.
“Mungkin
Gendis sudah pulang. Kan besok kita kartinian!” jawab Ayu dengan penuh
semangat.
“Ya
udah, kita pulang aja yuk. Sampai jumpa besok Ayu!” lanjut Nesha.
“Oke
Nes!” jawab Ayu.
Mereka
kemudian pulang ke rumah masing-masing sambil terus membayangkan bagaimana
serunya perayaan Hari Kartini besok. Namun, tidak dengan Nesha, dia gusar dan
sedih karena besok adalah Hari Kartini terakhir Nesha bersama temannya di SD
Siliwangi. Nesha akan pindah ke Jakarta bulan depan mengikuti tugas ayahnya.
***
Hari
Kartinipun tiba, hari itu mereka memakai baju adat nusantara. Ada yang memakai
pakaian adat Jawa, Betawi, Bali, Padang dan Kalimantan.
“Bagus
banget bajumu Nes ...!” kata Ayu.
“Ini
baju adat Padang kok Yu” jawab Nesha.
“Kamu
lihat Gendis nggak Yu?” tanya Nesha.
“Dari
tadi aku kok belum lihat ya Nes” jawab Ayu sambil tengok kanan kiri.
“Kamu
cari Gendis ada apa? Apa kamu punya masalah?” lanjut Ayu bertanya.
“Tidak
Yu, aku Cuma mau ngucapin terimakasih. Soalnya aku sudah diajari Bahasa Jawa
sama Gendis” jawab Nesha.
“Waktu
itu aku dapat tugas dari bu guru, aku nggak
bisa ngerjain, dan Gendis dengan senang hati membantuku. Selain itu ...”
Nesha
tidak melanjutkan perkataannya, dia terdiam, seolah ada sesuatu yang berat
diucapkan.
Tiba-tiba
dari arah panggung Rifqi ketua kelas 5 berlari memanggil-manggil Nesha.
“Heh
heh heh ... Nes ... pleasss! Kamu yang mewakili kelas kita ya. Gendis sakit,
jadi dia tidak masuk” kata Rafi sambil terengah-engah.
“Gimana
ya ... aku malu. Gimana Yu?!” jawab Nesha sambil melihat ke Ayu.
“Loooh
kok tanya. Kalau aku ... “ jawab Ayu sambil bingung bagaimana menjawab
pertanyaan temannya itu.
Belum
selesai Ayu melanjutkan jawabnnya, Nesha mengangguk tanda dia setuju menggantikan
Gendis.
“Okelah,
anggap saja ini sebagai ucapan terimakasihku pada Gendis. Selain itu, ini bisa aku
pakai sebagai salah satu kado pamitanku sama teman-teman” kata Nesha dalam
hati.
Akhirnya,
Nesha maju menggantikan Gendis mewakili kelas pentas kartinian. Dengan percaya
diri Nesha, menyapa semua teman-temannya di depan panggung. Dalam hati, Nesha
merindukan suasana seperti ini lagi di tahun depan. Tepuk tangan teman-temannya
tiada henti mengiringi turunnya Nesha dari panggung.
“Nes!
Kamu keren banget!” kata Ayu sambil mengelu-elukan Nesha.
“Iya
Nes..aku pikir kamu pemalu, ternyata kamu pemberani juga ya. Terima kasih ya
Nes, sudah mau mewakili kelas 5” kata Rifqi.
“Terima
kasih Yu, Rif ... semoga ini bisa menjadi kado yang indah untuk teman-teman.
Karena bulan depan aku harus pindah ke Jakarta dengan orang tuaku” kata Nesha
sambil terisak.
Melihat
Nesha sedih, Ayu kemudian memeluk Nesha. Rifqi yang tidak tega melihat temannya
sedih kembali berbaur dengan temannya yang lain dan pentaspun terus
berlangsung. Terlihat Nesha sudah sedikit tenang, bersama Ayu sahabat karibnya,
Neshapun kembali berbaur merasakan suasana kartinian terakhirnya di SD
Siliwangi.
Cerpen anak ini sudah pernah ditayangkan dalam Kompasiana dengan judul sama
Silahkan Klik:
Langganan:
Postingan (Atom)
Search
Video
Kurtilas
Kategori
Artikel Ilmiah Populer
(23)
Bank Soal
(20)
Artikel Populer
(15)
Puisi
(12)
Berita
(11)
Kisah Sang Guru
(10)
Cerita Anak
(6)
Pidato
(4)
Buku
(3)
Dongeng
(2)
Esai
(2)
Geguritan
(2)
info lomba
(2)
Cerpen
(1)
Galeri Foto
(1)
Media Pembelajaran
(1)
Pantun
(1)
TUGAS SISWA
(1)
TUGAS SISWA 2
(1)
Tugas 4
(1)
Tugas Siswa 3
(1)
Diberdayakan oleh Blogger.