Oleh: Nur Rakhmat, S.Pd

Senin, 09 Desember 2019

On 15.28 by Nur Rakhmat in    1 comment

Ketika Sang Guru Merdeka
Oleh : Nur Rakhmat
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan. Guru, sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tentu sangat dihargai kiprahnya oleh pemerintah dan masyarakat. Terlebih pasca reformasi, pemerintah telah menggulirkan berbagai apresiasi kepada guru. Undang-undang SISDIKNAS, Undang-undang Guru dan Dosen, setifikasi adalah beberapa wujud apresiasi tersebut.
Sebagai anggota masyarakat, guru juga bisa dikatakan memiliki posisi terhormat. Sebagai bukti, banyak posisi penting masyarakat diduduki guru. Sehingga tidak jarang, masyarakat melabeli guru dengan istilah hangabehi, karena mampu “mrantasi” segala bidang yang dibutukan masyarakat.
Namun, apakah segala bentuk penghargaan tersebut mampu memerdekakan guru secara utuh? Menurut Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan melakukan evaluasi peserta didik pada jenjang pendidikan anak usia dini, jalaur pendidikan forma, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Artinya guru adalah profesional di bidangnya, seperti dokter, advokat, apoteker. Dengan kata lain, dalam menjalankan tupoksinya guru membutuhkan kepastian akan hak dan kewajibannya. Baik kesejahteraan, perlindungan dalam menjalankan tugas, hak atas kekayaan intelektual, memperoleh rasa aman, memiliki peran dalam penentuan kebijakan pendidikan, pengembangan kompetensi, dll.
Belum Sepenuhnya Merdeka
Terlepas dari dikotomi guru negeri dan swasta. Di era modern, guru belum bisa lepas sepenuhnya dari sosok “Omar Bakrie”. Lewat syairnya, Iwan Fals menyindir pahlawan tanpa tanda jasa ini dalam arti sebenarnya. Pasalnya, di tengah sanjungan gelar dan bayaknya penghargaan yang diberikan, nasib guru saat ini masih ada yang nelongso di tengah kehidupan hedonis dan digitalis ini.
Buktinya dari 11 poin dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, pasal 14 tentang hak guru, baru beberapa saja yang dapat dikatakan ramah atau memihak guru. Artinya pemerintah belum menjalankan secara utuh amanat UU tersebut. Adanya gaji guru dibawah UMR, intimidasi terhadap guru, oknum yang memanfaatkan guru, belum terlepasnya guru dari pusaran politik adalah bukti lain dari lalainya pemerintah akan sang pahlawan tanpa tanda jasa ini.
Walau sudah merdeka, praktik seperti itulah yang mengakibatkan guru belum sepenuhnya merdeka. Tragis memang, terlebih tugas guru begitu mulia dan sangat mendukung keberhasilan progam pembangunan nasional bangsa.
Menurut penulis, ada beberapa bentuk belum merdekanya guru. Pertama, kesejahteraan guru. Guru sejahtera adalah keniscayaan, terlebih setelah sertifikasi. Namun, belum semua guru tersertifikasi. Sehingga ketimpangan guru tetaplah ada. Apalagi bagi guru honor serta guru di daerah terpencil, banyak dari mereka upahnya belum layak. Jangankan membeli barang “bagus”, untuk kelangsungan hidup sebulan saja terkadang kurang. Hanya keihlasan dan kepedulian mereka akan pendidikanlah yang membuat mereka bertahan jadi guru. Disinilah perhatian masyarakat dan  pemerintah dibutuhkan guna menyejahterakannya.
Kedua, pusaran politik. Adanya otonomi daerah berimbas pada otonomi pendidikan. Efeknya guru dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab saat kontestasi pemilu dan pemilukada. Faktor banyaknya guru kerap dijadikan kendaran politik oknum tertentu dalam ajang perpolitikan negeri ini. Inilah salah satu hal yang menyebabkan  kesucian dan kesakralan guru berkurang.
Ketiga, ancaman hukum. Tidak ada yang membantah, profesi guru butuh kompetensi khusus. Guru dibekali kemampuan edukasi, psikologi, konseling, managerial, spiritual dan sosial yang baik. Namun, guru juga riskan terjerat pelanggaran HAM dan kekerasan anak. Dalam banyak kasus, jika guru tidak kompeten mereka bisa terjerat UU perlindungan anak, pelanggaran HAM, dan bullying. Maka sikap profesional guru dengan empat kompetensi dasar dan kompetensi pendukung mutlak dibutuhkan jika ingin terhindar dari ancaman hukum tersebut.
Keempat, intimidasi. Dalam menjalankan tugas, guru seringkali mendapat intimidasi baik internal maupun eksternal. Intimidasi internal bisa dari “oknum tertentu” untuk menyukseskan doktrin progamnya supaya berhasil atau tidak kehilangan “pamor”. Intimidasi eksternal bisa ancaman pihak yang mengatasnamakan LSM atau pihak lain dengan mencari kesalahan-kesalahan guru. Akibatnya guru tidak bisa all out dalam mendidik dan membelajarkan anak supaya mendapat didikan secara optimal dari guru.
Wujud Ideal
Guru merdeka adalah wujud guru ideal harapan bangsa. Guru merdeka bisa mencurahkan kemampuan terbaik dalam mendidik anak. Guru merdeka bisa bekerja nyaman dan tenang guna keberhasilan peserta didiknya. Guru merdeka selain selalu mengupdate keilmuan dan ketrampilan sesuai kompetensinya, juga selalu mengembangkan seluruh potensinya dalam berkarier dan memberikan manfaat terbaik bagi sesama.
Perlu komitmen semua pihak guna mewujudkan guru merdeka. Pemerintah melalui kementrian terkait hendaknya berkomitmen dalam memenuhi hak guru. Jangan sampai adalagi tertundanya dana sertifikasi, belum sesuainya standar kualifikasi guru dan belum meratanya kompetensi guru. Jika hal tersebut terjadi, malpraktik pendidikan akan mudah masuk dan merusak sistem pendidikan kita. 
 Lalu dalam membuat kebijakan hendaknya yang ramah guru. Supaya dalam implementasinya, progam tersebut tidak menjadi bumerang bagi pemerintah. Siapkan infrastruktur pendukung guna suksesnya progam tersebut. Seperti dalam implementasi kurikulum 2013 ini, walaupun guru siap, jika sarana pendukung seperti buku, IT, belum siap tentu hasilnya jauh dari optimal.
Kemudian peran serta masyarakat juga penting membantu mewujudkan guru merdeka. Masyarakat bisa menjadi partner efektif guru untuk memaksimalkan seluruh potensi anak didiknya. Lingkungan masyarakat bisa menjadi sumber belajar konkret anak. Terlebih dalam K13, siswa membutuhkan objek nyata dalam memahami dan menguasai serta mengimplementasikan pembelajaran.
Guru merdeka adalah mutlak. Banyak manfaat yang dipetik jika guru terbebas dari belenggu di atas alias sudah merdeka. Dalam kehidupan, guru semakin makmur yang berimbas pada kondisi nyaman, menyenangkan, dan nuansa keilmiahan dalam tiap pembelajaran. Guru juga makin kreatif, all out atau memaksimalkan seluruh kemampuannya dalam proses pembelajaran.
Akhirnya, karena tercipta pembelajaran aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan, maka bisa dipastikan kemampuan siswa dapat optimal. Sehingga guru sebagai agen perubahan terwujud, dan bisa menjadi model, teladan, inspirasi bagi siswa sebagai generasi penerus bangsa dalam menyukseskan pembangunan nasional. Amin...



Nama   :  Nur Rakhmat,S.Pd.
   Peminat kajian pendidikan. Guru  SDN Gisikdrono 2, Semarang Barat, Kota Semarang.
   Hp. 081542557038
                         

Ketika Sang Guru Merdeka. Alhamdulillah artikel ini terbit di tahun 2014 di harian Suara Merdeka, saat kami masih mengajar di SDN Gisikdrono 2 Semarang. 
Insya allah masih relevan dengan kondisi sekarang, Selamat membaca dan semoga menjadikan motivasi dan refleksi untuk kita semua, demi pendidikan yang lebih baik.
  

1 komentar: